Musim dingin dan salju, satu kesatuan
yang tak terpisahkan. Dinginnya udara seolah menggigit kulit yang tanpa
perlindungan. Harusnya salju sudah mulai berhenti sekarang, tapi justru pagi
ini butiran-butirannya yang tampak berkilauan seperti tercurah dari langit. Gerombolan
awan putih bersih berusaha menghalangi Sang Matahari yang memancarkan cahaya
hangatnya.
Seorang
gadis nampak sedang berjalan di trotoar tertutup salju yang mulai mencair. Ia
berjalan dengan hati-hati, salju cair dapat membuatnya terpeleset. Ia menghela
napas. Hatiku pun sedang musim dingin sekarang, batinnya, membeku bagai jalanan
aspal itu. Ia merapatkan mantelnya yang berwarna hitam, berusaha menghalau rasa
dingin yang dibawa oleh hembusan angin.
Aku
harap kelas Prof. Miller tak sedingin ini, ujarnya dalam hati sambil
menghangatkan tangannya dengan uap yang ia hembuskan dari mulutnya. Ia terus
berjalan memasuki gerbang sekolah yang berdiri kokoh. Lapangan nampak becek
karena salju yang telah dibersihkan oleh petugas kebersihan sekolah
meninggalkan begitu banyak air.
”Pagi,
Irish.” sapa seorang gadis yang berpapasan dengannya di koridor di depan
tangga.
”Hai,
Pagi, Elly. Kau baru datang?” tanya Irish pada sahabatnya itu.
”Yep.
Hehe.. aku hebat kan, tidak terlambat lagi!” sahut Elly riang, benar-benar
riang.
”Yeah...
hebat. Ada angin apa nih?”
Elly
nyengir lebar namun tak menjawab.
“Well,
kau sudah menyelesaikan rangkuman tentang Asia dan Eropa?” tanya Irish lagi
setelah tak mendapat jawaban dari Elly. Mereka mulai menaiki tangga perlahan.
Senyum
Elly memudar. Ia mulai memasang tampang masam yang sering kali diperlihatkannya
kala ia sedang tak senang pada sesuatu.
“Yeah..
belum semua sih. Aku tak suka pelajaran itu.
Terlebih lagi, aku tak suka pada siapa
yang mengajar pelajaran itu!” umpat Elly, nada kesal mengalun dalam setiap
kata-katanya.
“Hei,
jangan begitu! Kalau Prof. Miller dengar bagaimana?” tegur Irish seraya menoleh
kanan-kiri, memastikan tak ada seorangpun yang mendengar perkataan Elly.
“Berarti kau dalam masalah. Prof. Miller tak menerima tugas yang
setengah-setengah, dan kau tahu hal itu. Lalu, apa yang akan kau lakukan?”
lanjut Irish.
“Mungkin..
seperti biasa.” tandas Elly.
Cengirannya
kembali lagi, dan Irish merasa kalau cengirannya memiliki makna yang tak menyenangkan.
“Oh,
jangan padaku lagi!” tukas Irish cepat.
“Ehehehe..
aku hanya bercanda. Mungkin aku bisa mengkopi pekerjaan Alexander. Yah, kurasa
kalau hanya satu-dua kali mungkin ia takkan marah.” ujar Elly ringan, seringan
langkahnya ketika mulai memasuki kelas Prof. Miller.
Tak
ada seorangpun—bahkan Elly—yang menyadari dampak disebutnya nama itu dihadapan Irish. Gadis ini terpaku
di ambang pintu dengan dada berdebar menyakitkan, seolah jantungnya akan
melompat keluar lewat tenggorokannya. Tangannya mulai basah oleh keringat—dan
jika mengingat sekarang ini adalah musim dingin, maka berkeringat tanpa
melakukan apa-apa adalah hal yang cukup aneh.
Irish
mulai berjalan perlahan sambil tetap memperhatikan Elly yang meletakkan tasnya
di kursi tengah, ketiga dari depan. Irish akhirnya meletakkan tasnya di kursi
tepat di depan Elly.
Belum
banyak siswa yang hadir di ruangan itu. Irish melirik arlojinya. Sepuluh menit
lagi, ucapnya dalam hati. Ia bangkit dan mulai berjalan menuju jendela, hal
yang selalu dilakukannya tiap pagi. Ia melihat segerombolan anak laki-laki yang
berlari-lari kecil melewati gerbang dan berusaha menghindari genangan air di
lapangan yang baru saja dilewati oleh Irish beberapa menit yang lalu. Dan,
tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada satu sosok. Ia membelalak namun dengan
cepat memalingkan wajahnya dan berjalan kembali menuju kursinya.
“Sial!
Aku lupa, dia juga mengambil kelas
Prof. Miller pagi ini. Benar-benar sial.” rutuk Irish dalam hati.
“Kau kenapa? Kecut
sekali tampangmu.” tanya Elly tiba-tiba sambil menatap Irish, keheranan.
“Tidak. Tak ada
apa-apa!” jawabnya enggan seraya menghempaskan diri di kursi dan memandang
kosong ke depan.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Beberapa anak lelaki memasuki
kelas sambil tertawa-tawa. Dia juga
ada diantara mereka. Dia.. Alexander. Melihat hal itu, Elly langsung berdiri
seraya tersenyum senang. Namun Irish justru merasa sebal. Entah kenapa.
“ Pagi, Alex.” sapa
Elly. Kontan Irish menaikkan alisnya. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya ia
mendengan Elly berkata semanis itu. Well, oke, Elly memang anak yang manis,
pemuja rahasianya pun lumayan banyak. Tapi bermanis-manis seperti itu... ya,
ampun!
“Pagi. Wah, kenapa ya
aku jadi curiga pada senyummu itu?” Alex menyahut dengan tetap tersenyum.
“Ah, ketahuan ya?
Hehehe.. ya sudah, to the point, aku mau menyalin tugasmu. Boleh ya?”
Tanpa banyak bicara,
Alex mengeluarkan bukunya dan menyerahkannya pada Elly. Elly menerimanya dengan
senang hati.
“Jangan memandangiku
seperti itu!” seru Irish ketus. Beberapa anak menoleh ke arah mereka namun dengan
cepat memalingkan muka dan kembali ke kesibukannya masing-masing. Elly bahkan
membelalak menatap Irish, tak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Hahaha.. jadi kau
tahu ya kalau aku sedang memandangimu? Wah, padahal kupikir takkan ketahuan.”
tandas Alex, tetap dengan ketenangannya yang biasa. Kemudian ia berjalan ke
belakang dan mengambil kursi paling belakang, wilayah favoritnya.
Sepeninggal Alex, Elly
memandangi Irish sehingga membuat Irish salah tingkah. “Kau lihat apa??” tukasnya
pada Elly yang masih tetap menatapnya.
“Aku heran padamu.”
“Maksudmu?”
“Kau masih saja kasar
padanya, padahal ia kan sudah meminta maaf. Lagipula, apa kau tak bisa
melupakan kejadian itu ? Oh, biar
kuingatkan lagi, kejadiannya sudah berlalu, hampir tiga tahun yang lalu. Hhh..
aku heran, benar-benar heran padamu.”
Iris baru saja membuka
mulut untuk menjawab argumen Elly—yang sebagian besar adalah fakta yang tak
dapat diterima Irish—saat Prof. Miller memasuki kelas.
Prof. Miller adalah
sosok klise dari seorang guru. Tua, membosankan, dan sama sekali tak
menyenangkan. Tubuhnya kurus tinggi dengan tulang pipi yang menonjol dan
dahinya lebar serta mengkilat, mengingatkan Irish pada kilap mobil sedan baru milik
tetangganya yang setiap pagi selalu dipolesnya. Dan yang membuat penampilannya
semakin parah adalah kacamatanya yang tampak bertengger janggal di hidungnya.
Dengan pandangan tajam
dan misterius, ia memandang ke seluruh penjuru kelas dan mulai berjalan menuju
mejanya. Ia membuka buku Sejarah-nya serta menyuruh setiap orang di dalam kelas
untuk mengikuti instruksinya.
Tak perlu waktu lama
hingga keadaan kelas menjadi sunyi senyap. Sebagian besar siswanya nyaris
terkapar karena mengantuk. Hanya sedikit sekali yang memperhatikan, itupun,
Irish yakin, mereka hanya memandangi Prof. Miller namun pikiran mereka melayang
entah kemana.
Irish merasakan
matanya memberat. Ia hampir tertidur, ditambah lagi dengan cuaca yang masih
dingin. Ia melirik lagi arlojinya. Tinggal lima menit lagi dan segala
penderitaannya hari itu akan lenyap.
Bel berbunyi tepat
setelah Prof. Miller menyuruh para siswanya untuk mengumpulkan tugas. Keributan
yang terjadi setelahnya begitu kontras dengan kesunyian yang terjadi baru
beberapa menit yang lalu. Semua siswa bergegas meninggalkan ruangan itu dan
menuju ruang kelas mata pelajaran selanjutnya.
Irish melangkahkan
kakinya setelah meletakkan tasnya di kelas Prof. Flanery—guru mata pelajaran
Kimia. Ia sedang tak bersemangat untuk pergi ke kantin dalam cuaca sedingin
ini.
Kenapa salju masih turun,
padahal seharusnya saat ini adalah awal musim semi? gerutunya dalam hati. Dia
hampir memasuki perpustakaan ketika melihat sesosok orang yang amat
dikenalnya—Alexander. Iris cepat-cepat berbalik dan bersembunyi di koridor
terdekat.
Sial! Ngapain sih dia
ke perpustakaan?!
Irish menjulurkan
kepalanya agar dapat melihat ke arah perpustakaan. Tampak di sana Alexander
berdiri bersandar di dinding. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang.
Irish yang tak dapat
menemukan kesempatan masuk perpustakaan tanpa terlihat oleh Alexander, akhirnya
memutuskan kembali ke kelas lagi.
“Kok, balik lagi?”
Maureen—siswi cantik yang selalu satu kelompok dengan Irish dalam percobaan
Kimia—bertanya saat Irish menghempaskan diri di kursinya.
“Tidak apa. Aku hanya
berubah pikiran saja!” jawab Irish sekenanya. Ia tersenyum untuk meyakinkan
Maureen.
Bel pulang berbunyi.
Hari yang melelahkan pun berlalu sudah. Banyak anak yang keluar dari kelas,
mengeluh betapa banyaknya PR mereka hari itu. Irish pun tampak terburu-buru
membereskan buku-bukunya dan mengenakan mantel di atas seragamnya. Ia ingin
menghindari Alexander karena mungkin cowok itu sedang menunggunya
digerbang—seperti yang selalu
dilakukannya.
Dan benar saja. Di
pintu utama gedung Irish dapat melihat Alexander yang—sama seperti diperpustakaan—berdiri
bersandar di dinding, sambil sesekali menjawab sapaan teman-temannya yang
mengucapkan “Bye!”
Aduh, apa sih yang ada dipikirannya? Melakukan hal yang
tidak perlu seperti itu! Irish masih terus memandangi Alexander
sambil terus berpikir, mencari cara untuk melewati pintu tanpa disadari oleh
Alexander.
Baiklah! Aku tak punya banyak pilihan! ucap Irish
dengan tekad kuat dan akhirnya berjalan perlahan menuju pintu utama gedung. Ia
mulai membuka tasnya, berpura-pura sibuk mencari sesuatu sekedar supaya tidak
melihat wajah Alexander saja.
Tapi tampaknya itu
tidak berhasil.
“Irish!”
Alexander
memanggilnya.
Sejenak Irish
terpancang. Gerakannya terhenti seolah seseorang di luar sana menekan tombol pause dan memberhentikan waktu.
Irish memutuskan untuk
tetap berjalan dan tak menghiraukan panggilan Alexander. Sikapnya menunjukkan
seolah-olah tak pernah ada suara yang memanggilnya. Bahkan ia berharap bahwa
suara panggilan tadi hanya halusinasinya saja.
“Tunggu! Aku perlu
bicara denganmu!”
Tangan kekarnya
merengkuh lengan Irish yang sedang sibuk merogoh ke dalam tas. Terpaksa Irish
berhenti. Dan dengan satu sentakan ia melepaskan cengkraman Alexander pada
lengannya.
Untuk pertama kalinya
hari ini, Irish menatap tepat ke mata teduh Alexander. Dan hal itu terjadi
lagi. Jantungnya bertalu-talu dengan amat menyakitkan. Ia bahkan hampir kehilangan
keseimbangannya karena gemetar.
“Tak ada lagi yang
perlu dibicarakan. Kau sudah meminta maaf dan aku sudah memaafkanmu. Urusan
kita sudah selesai kan??” tandas Irish. Dan ia mulai berjalan lagi, kali ini
lebih cepat.
Alexander mengikuti
langkah Irish. “Tapi aku—“
“Urusan kita sudah selesai, ingat?” sela Irish tanpa
memberikan kesempatan pada Alexander untuk melanjutkan kata-katanya. Irish
kembali berjalan.
Dan Alexander tidak
mengikutinya lagi.
***
“Aku pulang!”
Irish menutup pintu,
bersandar sebentar dan menghela napas. Benar-benar hari yang menyebalkan,
gerutunya dalam hati.
Tak berapa lama,
seorang wanita muncul dari dalam rumah. “Kau sudah pulang? Lama sekali.”
“Yeah. Tadi aku
berjalan cukup pelan untuk menghindari genangan air. Aku tak mau ambil resiko
terpeleset, Mom.”
“Well. Kalau begitu,
kenapa tasmu terbuka?”
Irish tertegun sejenak
lalu memeriksa tasnya. “Mungkin tadi aku lupa menutupnya.” Jawab Irish, teringat
peristiwa beberapa menit yang lalu. Ternyata ia memang lupa menutup kembali
tasnya. Setelah mengecup pipi ibunya, ia menaiki tangga menuju kamarnya.
Kamar yang didominasi
warna biru itu adalah tempat favorit Irish, setelah perpustakaan dan kantin sekolah,
tentunya. Ia mulai meletakkan tasnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas tempat
tidur. Ia memandangi langit-langit kamarnya. Kejadian-kejadian tadi berputar
dalam otaknya.
“Alex..” gumamnya
tanpa sadar.
Terbayang kembali
kejadian paling memalukan dalam hidup Irish. Saat itu upacara hari pertama
masuk sekolah. Mungkin seharusnya saat itu adalah hari yang paling
menyenangkan, apalagi Irish terpilih menjadi perwakilan siswa kelas sepuluh
dalam upacara peresmian itu. Tapi entah kenapa, hari itu berubah menjadi hari terburuk
dalam sejarah kehidupannya. Saat berjalan menuju podium tempat Kepala Sekolah dan
Dewan Orangtua Murid berada, Irish memilih
untuk jatuh terjerembab. Bahkan bisa dibilang adegan jatuhnya itu cukup sukses untuk
menjadi bahan tertawaan seisi sekolah. Saat itulah, Alexander keluar dari
barisannya dan berlari menghampiri Irish untuk membantunya bangun. Jika saja
saat itu Irish tidak merasa malu, mungkin ia akan mengucapkan terima kasih dan
ia bisa berteman dengan Alexander, bukannya menampik tangan Alexander yang
sedang membantunya bangun dan dengan pandangan paling bengis ia memperingatkan
Alex agar tidak ikut campur, seperti yang telah
dilakukannya saat itu.
Irish bangkit,
menyesali masa-masa itu seraya mengambil tasnya dan mulai merogoh, mencari
sesuatu. Setelah lama mencari, ia terbelalak dengan wajah pucat pasi.
“Oh, tidak!!”
***
Pagi ini, salju sudah
berhenti namun udara tetap terasa menyengat kulit. Pagi yang cukup tenang, tapi
tidak bagi Irish.
Ia berlari
tergesa-gesa menuju kelas Trigonometri. Berharap ketika sampai ia akan
menemukan orang yang sangat ingin ditemuinya.
“Oh! Thanks God!”
serunya saat melihat Elly yang sedang duduk disalah satu kursi barisan tengah,
sibuk menyisiri rambut ikal panjangnya. “Elly, please, kau harus menolongku!” ujar Irish panik sambil meletakkan
tasnya asal-asalan.
“Ada apa, sih? Kau
tampak cemas sekali.”
Belum sempat Irish
menjawab, Prof. Edward—guru Trigonometri yang luar biasa cerdas—datang.
“Temui aku di atap pulang
sekolah nanti!” ujar Irish sambil meninggalkan kelas. Ia pun bergegas menuju Lab.
Komputer. Hari ini ia ada kelas komputer yang letaknya cukup jauh dari kelas
Trigonometri.
Bagi Irish, waktu
berjalan lama sekali, seolah seseorang melambatkan waktu dengan sengaja. Ia
hanya memandangi komputernya tanpa tahu harus berbuat apa. Akhirnya waktunya
hanya dihabiskan untuk memelototi arlojinya.
Nyaris saja Irish
terjatuh ketika berlari menuju atap sekolah untuk menemui Elly. Namun ternyata
ia lebih dulu sampai. Dan ia mulai menyesali mengapa ia tidak menunggu Elly di
depan kelasnya saja. Irish mulai berjalan mondar-mandir, gelisah karena Elly
tak kunjung datang. Dan ketika satu-satunya pintu yang ada disitu terbuka,
Irish harus berusaha keras untuk tidak memekik. Elly muncul dari balik pintu,
tertegun sejenak melihat Irish ada di sana dan sedang berlari menyongsongnya.
“Elly, dompetku
hilang! Aku yakin jatuhnya di sekolah karena waktu aku pulang tasku terbuka
dan—“
“Hei, tenang dulu!
Ceritakan pelan-pelan!”
“Tak Bisa!! Ini
penting dan ini—“
“Okey, okey.
Perlahan-lahan. Jadi, dompetmu hilang?” tanya Elly tenang.
“Ya..” jawab Irish
sambil mengangguk.
“Dan kemungkinan
jatuhnya di sekolah?” tanya Elly lagi.
Irish mengangguk lebih
cepat. “Aku yakin sekali!”
“Apa ada benda
berharga di dalamnya?”
Butuh waktu cukup lama
bagi Irish untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ada. Tapi kalau dibilang
berharga rasanya terlalu berlebihan.
“Aku tak yakin, Elly.”
jawab Irish akhirnya.
“Yah, kurasa akan ada
yang menemukan dan mengembalikannya padamu dalam waktu dekat. Kau menyimpan
Kartu Siswa-mu di sana kan?”
“Aduh, Elly, bukan
itu!” sergah Irish. Wajahnya kini terlihat pucat.
“Lalu apa?”
“Di dompet itu ada—“
Irish menghentikan kalimatnya. Sejenak ragu, apakah ia akan memberitahu Elly
atau tidak.
“Apa?” tukas Elly tak
sabar.
“Ada... foto
Alexander.”
Getar ketakutan
mengalun dalam suara Irish. Ya, ia takut akan reaksi yang mungkin akan
diperlihatkan Elly. Namun tiba-tiba, tanpa diduga sama sekali, Elly tertawa.
Terbahak-bahak.
Irish tercengang, lalu
memukul lengan sahabatnya itu. “Kenapa malah tertawa? Seharusnya kan kau
membantuku?!”
“Hahaha.. maaf! Aku
tak bermaksud begini, tapi.. hahaha.. ini lucu! Kau lucu sekali, Irish!
Hahahaha..”
Elly terus melanjutkan
tawanya, tanpa menyadari perubahan ekspresi di wajah Irish.
“Aku takut.” ujar
Irish lirih, lebih seperti bisikan. “Aku takut kalau yang menemukan dompet itu—Alex!”
serunya kemudian ketika melihat sosok yang telah lama membuatnya sangat
menderita dengan semua debaran menyakitkan itu.
Elly menoleh mengikuti
arah pandangan Irish. Di sana, di ambang pintu berdiri sosok Alex dengan
ekspresi yang sulit digambarkan. Kesunyian menyergap ketiganya.
“Ehm.. mungkin
sebaiknya aku pulang duluan. Aku.. aku baru ingat ada urusan di rumah. Dan..
yah.. sampai jumpa besok.”
Elly pergi, meninggalkan
Irish beserta segala kegalauannya, dan Alex dengan wajah tanpa ekspresinya.
Keduanya saling pandang tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
“Jadi.. apa saja yang
kau dengar?” tanya Irish dengan suara gentar. Matanya mulai memanas dalam cuaca
yang dingin. Ia pun bertanya-tanya, sampai berapa lama ia bisa mempertahankan
lututnya agar tidak goyah.
“Yah, cukup banyak.”
Jawabnya singkat. Ia mulai bersandar di dinding—seperti yang biasa dilakukannya.
Matanya terus menatap Irish. “Cukup banyak untuk tahu bahwa urusan kita belum selesai.”
Sejurus kemudian Alex
mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah dompet berwarna putih.
Irish tercekat. “Itu...
Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Irish akhirnya.
Alex tak menjawab. Ia
hanya menimang-nimang benda mungil itu dengan tatapan mata hampa.
“Kembalikan!” jerit
Irish seketika, membuat Alex mendongak. “Kubilang, kembalikan!”
“Kau ingin aku
mengembalikannya? Baiklah, tapi dengan satu syarat. Kau harus menjelaskan apa
artinya ini?” Alex membuka dompet itu
dan mengangkatnya setinggi dada, memperlihatkan foto dirinya sendiri dalam
dompet tersebut.
Mata Irish membulat.
Ia mulai gelisah. Inilah yang paling ditakutkannya. Alex tahu hal ini.
“Itu... karena aku...”
ujar Irish terbata-bata, tak tahu lagi mesti berkata apa.
Hening cukup lama.
“Aku memungutnya
kemarin, setelah kau pergi meninggalkanku begitu saja. Aku ingin memanggilmu, tapi
kupikir percuma, karena kau hanya akan marah-marah padaku.” Kata Alex.
“Sebenarnya aku berniat untuk mengembalikannya padamu hari ini.. sebelum aku
melihat fotoku ada dalam dompetmu.”
“Lalu, kau mau apa
dariku??”
Alex memandangi Irish
cukup lama sebelum kemudian menjawab, “Kejelasan!”
Dada Irish sudah sakit
sekali. Dan ia yakin sebentar lagi ia tidak akan sanggup lagi menahan keseimbangannya.
Matanya memandang Alex.
“Baik. Akan
kujelaskan. Aku suka padamu. Sejak dulu. Sejak saat kau membantuku saat aku
terjatuh. Karena itulah fotomu bisa ada didompetku.” Irish dapat merasakan
suaranya bergetar. “Nah, kau sudah mendapat kejelasan,
sekarang aku ingin mendapatkan kembali dompetku.”
Irish mengulurkan
tangannya yang gemetar. Matanya menatap wajah Alex yang tampak sangat terkejut.
Terserah, batinnya, kau mau berpikiran apapun tentang aku, itu
terserah padamu!
Tiba-tiba Alex
tersenyum. Senyuman yang membuat dada Irish kembali berdenyut. Baru saja Irish
berniat untuk berteriak, menanyakan apa maksud senyuman itu, tapi apa yang
dilakukan Alex setelahnya membuat Irish mengurungkan niatnya.
Alex melemparkan benda
persegi yang ditangkap dengan baik oleh Irish. Di pandanginya benda itu sebelum
kemudian mendongak menatap Alex.
“Dompet?” tanya Irish
tak mengerti. Pasalnya yang dilemparkan oleh Alex bukanlah dompet miliknya yang
berwarna putih, tapi dompet lain berwarna hitam yang sama sekali tak dikenalnya.
“Bukalah.”
Kata-kata Alex bagai
perintah yang tak terbantah bagi Irish. Ia membuka dompet itu dan spontan
terkesiap.
“Ini...”
“Ya. Fotomu sudah ada
di sana selama bertahun-tahun. Pertama kali aku melihatmu, saat ujian masuk.
Kau begitu baik pada semua orang, bahkan pada orang yang tak kau kenal
sekalipun. Hal itu sedikit banyak membuatku penasaran. Sungguh, mulai hari itu
aku bertekad ingin berteman denganmu, tapi sepertinya kejadian hari itu mengubah segalanya.”
Ia berhenti untuk
menarik napas. Irish tahu, ‘hari itu’ yang diucapkan Alex merujuk pada hari
pertama masuk sekolah, hari dimana ia dengan berani keluar dari barisan hanya
untuk menolong seorang gadis yang terjerembab dengan sangat memalukan.
“Okey, sekarang aku
mengerti.” ujar Irish akhirnya. “Kau datang kesini hanya untuk menertawakanku,
seperti yang dilakukan semua orang hari itu. Kau datang untuk melihat seorang
gadis bodoh yang dengan ceroboh menjatuhkan dompetnya. Kau datang kesini hanya
untuk bilang bahwa aku ini adalah gadis paling menyedihkan yang pernah ada. Dan
kau datang kesini untuk mengatakan—“
“—bahwa aku suka
padamu.”
Alex berjalan menuju
tempat Irish berdiri terpaku dengan dompet hitam yang bergetar ditangannya. “Sepanjang
tahun aku terus berusaha untuk mengatakan hal itu, tapi kau terus
menghindariku. Aku tak tahu kenapa tapi aku benar-benar ingin berteman
denganmu, bahkan aku ingin lebih dari itu.”
Alex telah berada
dihadapan Irish, mengambil kembali dompetnya dan menjejalkan dompet berwarna
putih yang sedari tadi dipegangnya ke dalam genggaman Irish. “Sebenarnya
kemarin aku berniat untuk menyerah pada perasaanku karena tampaknya kau sama
sekali tak mempedulikanku. Tapi itu sebelum aku melihat isi dompetmu. Aku
benar-benar tak menyangka kalau ternyata... kau juga memiliki perasaan yang
sama denganku.”
Irish dapat melihat
Alex tersenyum tapi segera terhalang oleh airmata yang merebak di sudut matanya.
Ia benar-benar tak bisa memutuskan harus senang atau sedih. Senang karena
ternyata perasaannya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Dan sedih karena
sikapnya sangat menyebalkan kepada Alex selama ini.
Dan tampaknya Irish
tak kuat lagi menahan lututnya, ia terjatuh, bersamaan dengan terjatuhnya
buliran airmata yang tak terbendung lagi.
“Aku... aku minta
maaf! Sikapku selama ini pasti sangat menyebalkan.” jelas Irish diantara
isakannya. Aku hanya merasa marah, bukan marah padamu atau siapapun, tapi marah
pada diriku sendiri! Aku marah karena aku tak bisa bersikap lebih baik, bahkan
hanya untuk mengucapkan terima kasih padamu hari itu. Aku marah karena ternyata
aku tak memiliki keberanian untuk meminta maaf padamu atas perlakuan kasarku
hari itu. Dan aku merasa marah karena aku hanya membiarkan perasaanku padamu terpendam
begitu saja, karena, seperti yang kubilang, aku tak memiliki keberanian!”
“Aku mengerti.” Alex
menjawab sambil berlutut dan mengangkat wajah Irish. “Karena aku sayang padamu
makanya aku mengerti.”
“Alex...”
Tak ada lagi kata-kata
yang terpikirkan untuk diucapkan oleh Irish. Yang ia tahu hanyalah ia ingin
memeluk Alex. Ia tak ingin melepaskannya. Ia ingin terus didekap oleh kasih
sayang Alex.
Alex membantu Irish
bangun, sama seperti yang ia lakukan hari itu, dan menghapus airmata dari pipi
Irish.
Dan...
Irish menampik tangan
Alex yang memegangi lengannya.
Alex terkejut bukan
main, tapi ia lebih terkejut lagi karena detik berikutnya Irish menghambur ke
dalam pelukannya.
“Aku sayang kamu,
Alex.” bisik Irish.
“Ya, aku tahu.”
***
sumber gambar : di sini