Jumat, 05 Februari 2016

Snow of Happiness



Soft snow falling            Musim dingin dan salju, satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dinginnya udara seolah menggigit kulit yang tanpa perlindungan. Harusnya salju sudah mulai berhenti sekarang, tapi justru pagi ini butiran-butirannya yang tampak berkilauan seperti tercurah dari langit. Gerombolan awan putih bersih berusaha menghalangi Sang Matahari yang memancarkan cahaya hangatnya.
          Seorang gadis nampak sedang berjalan di trotoar tertutup salju yang mulai mencair. Ia berjalan dengan hati-hati, salju cair dapat membuatnya terpeleset. Ia menghela napas. Hatiku pun sedang musim dingin sekarang, batinnya, membeku bagai jalanan aspal itu. Ia merapatkan mantelnya yang berwarna hitam, berusaha menghalau rasa dingin yang dibawa oleh hembusan angin.
          Aku harap kelas Prof. Miller tak sedingin ini, ujarnya dalam hati sambil menghangatkan tangannya dengan uap yang ia hembuskan dari mulutnya. Ia terus berjalan memasuki gerbang sekolah yang berdiri kokoh. Lapangan nampak becek karena salju yang telah dibersihkan oleh petugas kebersihan sekolah meninggalkan begitu banyak air.
          ”Pagi, Irish.” sapa seorang gadis yang berpapasan dengannya di koridor di depan tangga.
          ”Hai, Pagi, Elly. Kau baru datang?” tanya Irish pada sahabatnya itu.
          ”Yep. Hehe.. aku hebat kan, tidak terlambat lagi!” sahut Elly riang, benar-benar riang.
          ”Yeah... hebat. Ada angin apa nih?”
          Elly nyengir lebar namun tak menjawab.
          “Well, kau sudah menyelesaikan rangkuman tentang Asia dan Eropa?” tanya Irish lagi setelah tak mendapat jawaban dari Elly. Mereka mulai menaiki tangga perlahan.
          Senyum Elly memudar. Ia mulai memasang tampang masam yang sering kali diperlihatkannya kala ia sedang tak senang pada sesuatu.
          “Yeah.. belum semua sih. Aku tak suka pelajaran itu. Terlebih lagi, aku tak suka pada siapa yang mengajar pelajaran itu!” umpat Elly, nada kesal mengalun dalam setiap kata-katanya.
          “Hei, jangan begitu! Kalau Prof. Miller dengar bagaimana?” tegur Irish seraya menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada seorangpun yang mendengar perkataan Elly. “Berarti kau dalam masalah. Prof. Miller tak menerima tugas yang setengah-setengah, dan kau tahu hal itu. Lalu, apa yang akan kau lakukan?” lanjut Irish.
          “Mungkin.. seperti biasa.” tandas Elly.
          Cengirannya kembali lagi, dan Irish merasa kalau cengirannya memiliki makna yang tak menyenangkan.
          “Oh, jangan padaku lagi!” tukas Irish cepat.
          “Ehehehe.. aku hanya bercanda. Mungkin aku bisa mengkopi pekerjaan Alexander. Yah, kurasa kalau hanya satu-dua kali mungkin ia takkan marah.” ujar Elly ringan, seringan langkahnya ketika mulai memasuki kelas Prof. Miller.
          Tak ada seorangpun—bahkan Elly—yang menyadari dampak disebutnya nama itu dihadapan Irish. Gadis ini terpaku di ambang pintu dengan dada berdebar menyakitkan, seolah jantungnya akan melompat keluar lewat tenggorokannya. Tangannya mulai basah oleh keringat—dan jika mengingat sekarang ini adalah musim dingin, maka berkeringat tanpa melakukan apa-apa adalah hal yang cukup aneh.
          Irish mulai berjalan perlahan sambil tetap memperhatikan Elly yang meletakkan tasnya di kursi tengah, ketiga dari depan. Irish akhirnya meletakkan tasnya di kursi tepat di depan Elly.
          Belum banyak siswa yang hadir di ruangan itu. Irish melirik arlojinya. Sepuluh menit lagi, ucapnya dalam hati. Ia bangkit dan mulai berjalan menuju jendela, hal yang selalu dilakukannya tiap pagi. Ia melihat segerombolan anak laki-laki yang berlari-lari kecil melewati gerbang dan berusaha menghindari genangan air di lapangan yang baru saja dilewati oleh Irish beberapa menit yang lalu. Dan, tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada satu sosok. Ia membelalak namun dengan cepat memalingkan wajahnya dan berjalan kembali menuju kursinya.
          “Sial! Aku lupa, dia juga mengambil kelas Prof. Miller pagi ini. Benar-benar sial.” rutuk Irish dalam hati.
“Kau kenapa? Kecut sekali tampangmu.” tanya Elly tiba-tiba sambil menatap Irish, keheranan.
“Tidak. Tak ada apa-apa!” jawabnya enggan seraya menghempaskan diri di kursi dan memandang kosong ke depan.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Beberapa anak lelaki memasuki kelas sambil tertawa-tawa. Dia juga ada diantara mereka. Dia.. Alexander. Melihat hal itu, Elly langsung berdiri seraya tersenyum senang. Namun Irish justru merasa sebal. Entah kenapa.
“ Pagi, Alex.” sapa Elly. Kontan Irish menaikkan alisnya. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya ia mendengan Elly berkata semanis itu. Well, oke, Elly memang anak yang manis, pemuja rahasianya pun lumayan banyak. Tapi bermanis-manis seperti itu... ya, ampun!
“Pagi. Wah, kenapa ya aku jadi curiga pada senyummu itu?” Alex menyahut dengan tetap tersenyum.
“Ah, ketahuan ya? Hehehe.. ya sudah, to the point, aku mau menyalin tugasmu. Boleh ya?”
Tanpa banyak bicara, Alex mengeluarkan bukunya dan menyerahkannya pada Elly. Elly menerimanya dengan senang hati.
“Jangan memandangiku seperti itu!” seru Irish ketus. Beberapa anak menoleh ke arah mereka namun dengan cepat memalingkan muka dan kembali ke kesibukannya masing-masing. Elly bahkan membelalak menatap Irish, tak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Hahaha.. jadi kau tahu ya kalau aku sedang memandangimu? Wah, padahal kupikir takkan ketahuan.” tandas Alex, tetap dengan ketenangannya yang biasa. Kemudian ia berjalan ke belakang dan mengambil kursi paling belakang, wilayah favoritnya.
Sepeninggal Alex, Elly memandangi Irish sehingga membuat Irish salah tingkah. “Kau lihat apa??” tukasnya pada Elly yang masih tetap menatapnya.
“Aku heran padamu.”
“Maksudmu?”
“Kau masih saja kasar padanya, padahal ia kan sudah meminta maaf. Lagipula, apa kau tak bisa melupakan kejadian itu ? Oh, biar kuingatkan lagi, kejadiannya sudah berlalu, hampir tiga tahun yang lalu. Hhh.. aku heran, benar-benar heran padamu.”
Iris baru saja membuka mulut untuk menjawab argumen Elly—yang sebagian besar adalah fakta yang tak dapat diterima Irish—saat Prof. Miller memasuki kelas.
Prof. Miller adalah sosok klise dari seorang guru. Tua, membosankan, dan sama sekali tak menyenangkan. Tubuhnya kurus tinggi dengan tulang pipi yang menonjol dan dahinya lebar serta mengkilat, mengingatkan Irish pada kilap mobil sedan baru milik tetangganya yang setiap pagi selalu dipolesnya. Dan yang membuat penampilannya semakin parah adalah kacamatanya yang tampak bertengger janggal di hidungnya.
Dengan pandangan tajam dan misterius, ia memandang ke seluruh penjuru kelas dan mulai berjalan menuju mejanya. Ia membuka buku Sejarah-nya serta menyuruh setiap orang di dalam kelas untuk mengikuti instruksinya.
Tak perlu waktu lama hingga keadaan kelas menjadi sunyi senyap. Sebagian besar siswanya nyaris terkapar karena mengantuk. Hanya sedikit sekali yang memperhatikan, itupun, Irish yakin, mereka hanya memandangi Prof. Miller namun pikiran mereka melayang entah kemana.
Irish merasakan matanya memberat. Ia hampir tertidur, ditambah lagi dengan cuaca yang masih dingin. Ia melirik lagi arlojinya. Tinggal lima menit lagi dan segala penderitaannya hari itu akan lenyap.
Bel berbunyi tepat setelah Prof. Miller menyuruh para siswanya untuk mengumpulkan tugas. Keributan yang terjadi setelahnya begitu kontras dengan kesunyian yang terjadi baru beberapa menit yang lalu. Semua siswa bergegas meninggalkan ruangan itu dan menuju ruang kelas mata pelajaran selanjutnya.

Irish melangkahkan kakinya setelah meletakkan tasnya di kelas Prof. Flanery—guru mata pelajaran Kimia. Ia sedang tak bersemangat untuk pergi ke kantin dalam cuaca sedingin ini.
Kenapa salju masih turun, padahal seharusnya saat ini adalah awal musim semi? gerutunya dalam hati. Dia hampir memasuki perpustakaan ketika melihat sesosok orang yang amat dikenalnya—Alexander. Iris cepat-cepat berbalik dan bersembunyi di koridor terdekat.
Sial! Ngapain sih dia ke perpustakaan?!
Irish menjulurkan kepalanya agar dapat melihat ke arah perpustakaan. Tampak di sana Alexander berdiri bersandar di dinding. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang.
Irish yang tak dapat menemukan kesempatan masuk perpustakaan tanpa terlihat oleh Alexander, akhirnya memutuskan kembali ke kelas lagi.
“Kok, balik lagi?” Maureen—siswi cantik yang selalu satu kelompok dengan Irish dalam percobaan Kimia—bertanya saat Irish menghempaskan diri di kursinya.
“Tidak apa. Aku hanya berubah pikiran saja!” jawab Irish sekenanya. Ia tersenyum untuk meyakinkan Maureen.

Bel pulang berbunyi. Hari yang melelahkan pun berlalu sudah. Banyak anak yang keluar dari kelas, mengeluh betapa banyaknya PR mereka hari itu. Irish pun tampak terburu-buru membereskan buku-bukunya dan mengenakan mantel di atas seragamnya. Ia ingin menghindari Alexander karena mungkin cowok itu sedang menunggunya digerbang—seperti yang selalu dilakukannya.
Dan benar saja. Di pintu utama gedung Irish dapat melihat Alexander yang—sama seperti diperpustakaan—berdiri bersandar di dinding, sambil sesekali menjawab sapaan teman-temannya yang mengucapkan “Bye!”
Aduh, apa sih yang ada dipikirannya? Melakukan hal yang tidak perlu seperti itu! Irish masih terus memandangi Alexander sambil terus berpikir, mencari cara untuk melewati pintu tanpa disadari oleh Alexander.
Baiklah! Aku tak punya banyak pilihan! ucap Irish dengan tekad kuat dan akhirnya berjalan perlahan menuju pintu utama gedung. Ia mulai membuka tasnya, berpura-pura sibuk mencari sesuatu sekedar supaya tidak melihat wajah Alexander saja.
Tapi tampaknya itu tidak berhasil.
“Irish!”
Alexander memanggilnya.
Sejenak Irish terpancang. Gerakannya terhenti seolah seseorang di luar sana menekan tombol pause dan memberhentikan waktu.
Irish memutuskan untuk tetap berjalan dan tak menghiraukan panggilan Alexander. Sikapnya menunjukkan seolah-olah tak pernah ada suara yang memanggilnya. Bahkan ia berharap bahwa suara panggilan tadi hanya halusinasinya saja.
“Tunggu! Aku perlu bicara denganmu!”
Tangan kekarnya merengkuh lengan Irish yang sedang sibuk merogoh ke dalam tas. Terpaksa Irish berhenti. Dan dengan satu sentakan ia melepaskan cengkraman Alexander pada lengannya.
Untuk pertama kalinya hari ini, Irish menatap tepat ke mata teduh Alexander. Dan hal itu terjadi lagi. Jantungnya bertalu-talu dengan amat menyakitkan. Ia bahkan hampir kehilangan keseimbangannya karena gemetar.
“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kau sudah meminta maaf dan aku sudah memaafkanmu. Urusan kita sudah selesai kan??” tandas Irish. Dan ia mulai berjalan lagi, kali ini lebih cepat.
Alexander mengikuti langkah Irish. “Tapi aku—“
“Urusan kita sudah selesai, ingat?” sela Irish tanpa memberikan kesempatan pada Alexander untuk melanjutkan kata-katanya. Irish kembali berjalan.
Dan Alexander tidak mengikutinya lagi.

***

“Aku pulang!”
Irish menutup pintu, bersandar sebentar dan menghela napas. Benar-benar hari yang menyebalkan, gerutunya dalam hati.
Tak berapa lama, seorang wanita muncul dari dalam rumah. “Kau sudah pulang? Lama sekali.”
“Yeah. Tadi aku berjalan cukup pelan untuk menghindari genangan air. Aku tak mau ambil resiko terpeleset, Mom.”
“Well. Kalau begitu, kenapa tasmu terbuka?”
Irish tertegun sejenak lalu memeriksa tasnya. “Mungkin tadi aku lupa menutupnya.” Jawab Irish, teringat peristiwa beberapa menit yang lalu. Ternyata ia memang lupa menutup kembali tasnya. Setelah mengecup pipi ibunya, ia menaiki tangga menuju kamarnya.
Kamar yang didominasi warna biru itu adalah tempat favorit Irish, setelah perpustakaan dan kantin sekolah, tentunya. Ia mulai meletakkan tasnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia memandangi langit-langit kamarnya. Kejadian-kejadian tadi berputar dalam otaknya.
“Alex..” gumamnya tanpa sadar.
Terbayang kembali kejadian paling memalukan dalam hidup Irish. Saat itu upacara hari pertama masuk sekolah. Mungkin seharusnya saat itu adalah hari yang paling menyenangkan, apalagi Irish terpilih menjadi perwakilan siswa kelas sepuluh dalam upacara peresmian itu. Tapi entah kenapa, hari itu berubah menjadi hari terburuk dalam sejarah kehidupannya. Saat berjalan menuju podium tempat Kepala Sekolah dan Dewan Orangtua Murid berada, Irish memilih untuk jatuh terjerembab. Bahkan bisa dibilang adegan jatuhnya itu cukup sukses untuk menjadi bahan tertawaan seisi sekolah. Saat itulah, Alexander keluar dari barisannya dan berlari menghampiri Irish untuk membantunya bangun. Jika saja saat itu Irish tidak merasa malu, mungkin ia akan mengucapkan terima kasih dan ia bisa berteman dengan Alexander, bukannya menampik tangan Alexander yang sedang membantunya bangun dan dengan pandangan paling bengis ia memperingatkan Alex agar tidak ikut campur, seperti yang telah dilakukannya saat itu.
Irish bangkit, menyesali masa-masa itu seraya mengambil tasnya dan mulai merogoh, mencari sesuatu. Setelah lama mencari, ia terbelalak dengan wajah pucat pasi.
“Oh, tidak!!”

***

Pagi ini, salju sudah berhenti namun udara tetap terasa menyengat kulit. Pagi yang cukup tenang, tapi tidak bagi Irish.
Ia berlari tergesa-gesa menuju kelas Trigonometri. Berharap ketika sampai ia akan menemukan orang yang sangat ingin ditemuinya.
“Oh! Thanks God!” serunya saat melihat Elly yang sedang duduk disalah satu kursi barisan tengah, sibuk menyisiri rambut ikal panjangnya. “Elly, please, kau harus menolongku!” ujar Irish panik sambil meletakkan tasnya asal-asalan.
“Ada apa, sih? Kau tampak cemas sekali.”
Belum sempat Irish menjawab, Prof. Edward—guru Trigonometri yang luar biasa cerdas—datang.
“Temui aku di atap pulang sekolah nanti!” ujar Irish sambil meninggalkan kelas. Ia pun bergegas menuju Lab. Komputer. Hari ini ia ada kelas komputer yang letaknya cukup jauh dari kelas Trigonometri.
Bagi Irish, waktu berjalan lama sekali, seolah seseorang melambatkan waktu dengan sengaja. Ia hanya memandangi komputernya tanpa tahu harus berbuat apa. Akhirnya waktunya hanya dihabiskan untuk memelototi arlojinya.
Nyaris saja Irish terjatuh ketika berlari menuju atap sekolah untuk menemui Elly. Namun ternyata ia lebih dulu sampai. Dan ia mulai menyesali mengapa ia tidak menunggu Elly di depan kelasnya saja. Irish mulai berjalan mondar-mandir, gelisah karena Elly tak kunjung datang. Dan ketika satu-satunya pintu yang ada disitu terbuka, Irish harus berusaha keras untuk tidak memekik. Elly muncul dari balik pintu, tertegun sejenak melihat Irish ada di sana dan sedang berlari menyongsongnya.
“Elly, dompetku hilang! Aku yakin jatuhnya di sekolah karena waktu aku pulang tasku terbuka dan—“
“Hei, tenang dulu! Ceritakan pelan-pelan!”
“Tak Bisa!! Ini penting dan ini—“
“Okey, okey. Perlahan-lahan. Jadi, dompetmu hilang?” tanya Elly tenang.
“Ya..” jawab Irish sambil mengangguk.
“Dan kemungkinan jatuhnya di sekolah?” tanya Elly lagi.
Irish mengangguk lebih cepat. “Aku yakin sekali!”
“Apa ada benda berharga di dalamnya?”
Butuh waktu cukup lama bagi Irish untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ada. Tapi kalau dibilang berharga rasanya terlalu berlebihan.
“Aku tak yakin, Elly.” jawab Irish akhirnya.
“Yah, kurasa akan ada yang menemukan dan mengembalikannya padamu dalam waktu dekat. Kau menyimpan Kartu Siswa-mu di sana kan?”
“Aduh, Elly, bukan itu!” sergah Irish. Wajahnya kini terlihat pucat.
“Lalu apa?”
“Di dompet itu ada—“ Irish menghentikan kalimatnya. Sejenak ragu, apakah ia akan memberitahu Elly atau tidak.
“Apa?” tukas Elly tak sabar.
“Ada... foto Alexander.”
Getar ketakutan mengalun dalam suara Irish. Ya, ia takut akan reaksi yang mungkin akan diperlihatkan Elly. Namun tiba-tiba, tanpa diduga sama sekali, Elly tertawa. Terbahak-bahak.
Irish tercengang, lalu memukul lengan sahabatnya itu. “Kenapa malah tertawa? Seharusnya kan kau membantuku?!”
“Hahaha.. maaf! Aku tak bermaksud begini, tapi.. hahaha.. ini lucu! Kau lucu sekali, Irish! Hahahaha..”
Elly terus melanjutkan tawanya, tanpa menyadari perubahan ekspresi di wajah Irish.
“Aku takut.” ujar Irish lirih, lebih seperti bisikan. “Aku takut kalau yang menemukan dompet itu—Alex!” serunya kemudian ketika melihat sosok yang telah lama membuatnya sangat menderita dengan semua debaran menyakitkan itu.
Elly menoleh mengikuti arah pandangan Irish. Di sana, di ambang pintu berdiri sosok Alex dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Kesunyian menyergap ketiganya.
“Ehm.. mungkin sebaiknya aku pulang duluan. Aku.. aku baru ingat ada urusan di rumah. Dan.. yah.. sampai jumpa besok.”
Elly pergi, meninggalkan Irish beserta segala kegalauannya, dan Alex dengan wajah tanpa ekspresinya. Keduanya saling pandang tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
“Jadi.. apa saja yang kau dengar?” tanya Irish dengan suara gentar. Matanya mulai memanas dalam cuaca yang dingin. Ia pun bertanya-tanya, sampai berapa lama ia bisa mempertahankan lututnya agar tidak goyah.
“Yah, cukup banyak.” Jawabnya singkat. Ia mulai bersandar di dinding—seperti yang biasa dilakukannya. Matanya terus menatap Irish. “Cukup banyak untuk tahu bahwa urusan kita belum selesai.”
Sejurus kemudian Alex mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah dompet berwarna putih.
Irish tercekat. “Itu... Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Irish akhirnya.
Alex tak menjawab. Ia hanya menimang-nimang benda mungil itu dengan tatapan mata hampa.
“Kembalikan!” jerit Irish seketika, membuat Alex mendongak. “Kubilang, kembalikan!”
“Kau ingin aku mengembalikannya? Baiklah, tapi dengan satu syarat. Kau harus menjelaskan apa artinya ini?” Alex membuka dompet itu dan mengangkatnya setinggi dada, memperlihatkan foto dirinya sendiri dalam dompet tersebut.
Mata Irish membulat. Ia mulai gelisah. Inilah yang paling ditakutkannya. Alex tahu hal ini.
“Itu... karena aku...” ujar Irish terbata-bata, tak tahu lagi mesti berkata apa.
Hening cukup lama.
“Aku memungutnya kemarin, setelah kau pergi meninggalkanku begitu saja. Aku ingin memanggilmu, tapi kupikir percuma, karena kau hanya akan marah-marah padaku.” Kata Alex. “Sebenarnya aku berniat untuk mengembalikannya padamu hari ini.. sebelum aku melihat fotoku ada dalam dompetmu.”
“Lalu, kau mau apa dariku??”
Alex memandangi Irish cukup lama sebelum kemudian menjawab, “Kejelasan!”
Dada Irish sudah sakit sekali. Dan ia yakin sebentar lagi ia tidak akan sanggup lagi menahan keseimbangannya. Matanya memandang Alex.
“Baik. Akan kujelaskan. Aku suka padamu. Sejak dulu. Sejak saat kau membantuku saat aku terjatuh. Karena itulah fotomu bisa ada didompetku.” Irish dapat merasakan suaranya bergetar. “Nah, kau sudah mendapat kejelasan, sekarang aku ingin mendapatkan kembali dompetku.”
Irish mengulurkan tangannya yang gemetar. Matanya menatap wajah Alex yang tampak sangat terkejut. Terserah, batinnya, kau mau berpikiran apapun tentang aku, itu terserah padamu!
Tiba-tiba Alex tersenyum. Senyuman yang membuat dada Irish kembali berdenyut. Baru saja Irish berniat untuk berteriak, menanyakan apa maksud senyuman itu, tapi apa yang dilakukan Alex setelahnya membuat Irish mengurungkan niatnya.
Alex melemparkan benda persegi yang ditangkap dengan baik oleh Irish. Di pandanginya benda itu sebelum kemudian mendongak menatap Alex.
“Dompet?” tanya Irish tak mengerti. Pasalnya yang dilemparkan oleh Alex bukanlah dompet miliknya yang berwarna putih, tapi dompet lain berwarna hitam yang sama sekali tak dikenalnya.
“Bukalah.”
Kata-kata Alex bagai perintah yang tak terbantah bagi Irish. Ia membuka dompet itu dan spontan terkesiap.
“Ini...”
“Ya. Fotomu sudah ada di sana selama bertahun-tahun. Pertama kali aku melihatmu, saat ujian masuk. Kau begitu baik pada semua orang, bahkan pada orang yang tak kau kenal sekalipun. Hal itu sedikit banyak membuatku penasaran. Sungguh, mulai hari itu aku bertekad ingin berteman denganmu, tapi sepertinya kejadian hari itu mengubah segalanya.”
Ia berhenti untuk menarik napas. Irish tahu, ‘hari itu’ yang diucapkan Alex merujuk pada hari pertama masuk sekolah, hari dimana ia dengan berani keluar dari barisan hanya untuk menolong seorang gadis yang terjerembab dengan sangat memalukan.
“Okey, sekarang aku mengerti.” ujar Irish akhirnya. “Kau datang kesini hanya untuk menertawakanku, seperti yang dilakukan semua orang hari itu. Kau datang untuk melihat seorang gadis bodoh yang dengan ceroboh menjatuhkan dompetnya. Kau datang kesini hanya untuk bilang bahwa aku ini adalah gadis paling menyedihkan yang pernah ada. Dan kau datang kesini untuk mengatakan—“
“—bahwa aku suka padamu.”
Alex berjalan menuju tempat Irish berdiri terpaku dengan dompet hitam yang bergetar ditangannya. “Sepanjang tahun aku terus berusaha untuk mengatakan hal itu, tapi kau terus menghindariku. Aku tak tahu kenapa tapi aku benar-benar ingin berteman denganmu, bahkan aku ingin lebih dari itu.”
Alex telah berada dihadapan Irish, mengambil kembali dompetnya dan menjejalkan dompet berwarna putih yang sedari tadi dipegangnya ke dalam genggaman Irish. “Sebenarnya kemarin aku berniat untuk menyerah pada perasaanku karena tampaknya kau sama sekali tak mempedulikanku. Tapi itu sebelum aku melihat isi dompetmu. Aku benar-benar tak menyangka kalau ternyata... kau juga memiliki perasaan yang sama denganku.”
Irish dapat melihat Alex tersenyum tapi segera terhalang oleh airmata yang merebak di sudut matanya. Ia benar-benar tak bisa memutuskan harus senang atau sedih. Senang karena ternyata perasaannya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Dan sedih karena sikapnya sangat menyebalkan kepada Alex selama ini.
Dan tampaknya Irish tak kuat lagi menahan lututnya, ia terjatuh, bersamaan dengan terjatuhnya buliran airmata yang tak terbendung lagi.
“Aku... aku minta maaf! Sikapku selama ini pasti sangat menyebalkan.” jelas Irish diantara isakannya. Aku hanya merasa marah, bukan marah padamu atau siapapun, tapi marah pada diriku sendiri! Aku marah karena aku tak bisa bersikap lebih baik, bahkan hanya untuk mengucapkan terima kasih padamu hari itu. Aku marah karena ternyata aku tak memiliki keberanian untuk meminta maaf padamu atas perlakuan kasarku hari itu. Dan aku merasa marah karena aku hanya membiarkan perasaanku padamu terpendam begitu saja, karena, seperti yang kubilang, aku tak memiliki keberanian!”
“Aku mengerti.” Alex menjawab sambil berlutut dan mengangkat wajah Irish. “Karena aku sayang padamu makanya aku mengerti.”
“Alex...”
Tak ada lagi kata-kata yang terpikirkan untuk diucapkan oleh Irish. Yang ia tahu hanyalah ia ingin memeluk Alex. Ia tak ingin melepaskannya. Ia ingin terus didekap oleh kasih sayang Alex.
Alex membantu Irish bangun, sama seperti yang ia lakukan hari itu, dan menghapus airmata dari pipi Irish.
Dan...
Irish menampik tangan Alex yang memegangi lengannya.
Alex terkejut bukan main, tapi ia lebih terkejut lagi karena detik berikutnya Irish menghambur ke dalam pelukannya.
“Aku sayang kamu, Alex.” bisik Irish.
“Ya, aku tahu.”

***

sumber gambar : di sini

Senin, 22 Desember 2014

Unlimited : The Other Side, Chapter 1

 Teng ... Teng ... Teng ...
Emina mengangkat wajahnya dari aliran air keran. Air keran itu terasa sangat segar di hari yang terik seperti hari ini. Dia mengeluarkan sebuah handuk kecil dari sakunya dan mengeringkan wajahnya. Sebagai siswi di akademi ini, Emina sangat mengenal bunyi tersebut.
Sambil mengeringkan wajahnya, dia berjalan menuju kelas. Selanjutnya adalah pelajaran matematika, pelajaran yang sangat disukainya. Sejauh yang dia ingat, dia telah menyukai angka dan hitungan bahkan saat teman sebayanya baru belajar cara menggores crayon di buku gambar. Yah itupun kalau dia tak salah ingat.
Dia baru saja hendak melangkahkan kakinya menuju tangga saat perhatiannya tertumbuk pada satu sosok di ujung lorong yang berdiri bosan bersama seorang lelaki tua yang berbicara serius padanya walau sepertinya dia tak memperhatikan si lelaki tua itu sedikitpun. Emina yakin anak laki-laki itu sebaya dengannya. Tapi yang membuat Emina berhenti melangkah adalah ketidak pedulian anak itu pada lelaki tua yang berbicara padanya. Lelaki itu adalah kepala akademi. Salah satu orang yang paling disegani di akademi ini. Bahkan guru paling galak pun tidak berani mengacuhkannya seperti itu.
Selain sikapnya yang kurang ajar itu, penampilan anak itu juga aneh. Tangan kirinya di perban dari pergelangan tangannya hingga ke balik lengan bajunya. Sorot matanya sayu seakan berkata, “hidup ini membosankan” mata itu seperti mata ikan mati. Ya, bahkan mata ikan mati tidak sekosong dia, Emina yakin.
Emina tidak ingat pernah melihat anak laki-laki itu sebelumnya.
Anak baru? pikirnya. Sepertinya begitu, lihat saja sikapnya itu, siswa akademi tidak akan pernah bersikap seperti itu. Emina penasaran sekaligus geram.
Tiba-tiba saja anak laki-laki itu menoleh ke arah Emina, seakan dia tahu ada yang memata-matainya. Secepat kilat Emina bersembunyi di balik dinding. Yakin tidak ada gunanya dia meneruskan aktivitas mata-matanya, Emina berlalu menuju kelasnya.
“Oi, Kau mendengarku tidak?” Suara Kepala Akademi terdengar meninggi dari kejauhan.
“Tidak.”
Tidak? Apakah anak laki-laki itu baru saja menjawab tidak pada kepala akademi? Seberapa besar nyali anak itu? pikir Emina.


“Uugh, jangan memperberat tugasku, yang penting, kau sudah tahu tujuanmu berada di sini, kan? Jangan melakukan hal yang tak perlu!” Suara Kepala akademi mulai terdengar sayup-sayup saat Emina terus berjalan meniti tangga.
Emina memasuki kelasnya dengan kepala penuh pertanyaan. Beruntung pelajaran belum dimulai dan anak-anak masih ramai. Dia duduk dikursinya, masih memikirkan anak laki-laki yang baru saja dia mata-matai.
“Hei, ada apa? Pagi-pagi sudah cemberut.” Seseorang menepuk pundak Emina. “Whoa ... jangan mengejutkanku seperti itu Chi-chan,” Emina mengelus dadanya. Jantungnya berdegup kencang.
“Hehe, maaf, maaf. Hanya saja kenapa kamu terlihat serius sekali? Jangan bilang kamu belum mengerjakan PR.” Gadis itu duduk di kursi didepan Emina.
“Tidak ... hanya saja aku ... ah, lupakan.”
“Hmmm? Apa?” Gadis bernama Cirno itu semakin penasaran.
“Sudah kubilang tidak apa-apakan? Ayo kembali ke tempat dudukmu, sebentar lagi pelajaran dimulai.” Emina mencubit pipi Cirno.
“Aww, aduh ... Itu sakit ...” Cirno mengusap pipinya. Tak lama kemudian seorang wanita memasuki pintu kelas.
Cirno segera berdiri, “Berdiri! Beri Hormat!”
“Selamat Pagi bu.” Seisi kelas memberi hormat.
“Selamat pagi, silakan duduk.” Guru wanita itu mengeluarkan sebuah kacamata dari kotaknya dan mengenakannya. “Anak-anak, hari ini kita mendapat teman baru, dia pindahan dari luar negri, silakan masuk.” Bu rifumin sedikit menoleh ke arah pintu.
Seorang anak laki-laki berjalan masuk. Anak itu lumayan tinggi, rambutnya yang seperti matanya, berwarna hitam diikat ponytail. Emina terkejut melihat anak itu.
“Whaa ... KAU!” Tanpa sadar Emina berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk anak laki-laki yang berdiri kaku di depan kelas.
“Ada apa Emi?” Bu Rifumin sedikit terkejut dengan kelakuan Emina. Wajah Emina memanas, dengan canggung dia kembali duduk. Semua wajah dikelas itu memandang ke arahnya. “Eh, tidak ... Tidak ada apa-apa bu.”
“Baiklah kalau begitu, Nura, silahkan perkenalkan dirimu.”
“Hmm ...” Anak laki-laki itu mengangguk malas dan berdiri tegap menghadap kelas. “Namaku Nura Sekimoto.” pandangan sayu dari matanya masih seperti yang diingat Emina.
Seisi kelas diam, menunggu Nura melanjutkan perkenalannya.Hingga seorang gadis yang duduk ditengah kelas mengacungkan tangannya. “Asalmu darimana? Bagaimana dengan umurmu? Orang tuamu?” Gadis bernama Miu itu bertanya tanpa ragu.
“Asal? Umur? Entahlah ... aku lupa semua itu ... lalu, orang tuaku? Aku bahkan tak ingat punya hal seperti itu.”
Cirno juga ikut mengacungkan tangan, “Tanganmu kenapa? Apa kau baru saja kecelakaan?”
“Tidak, anggap saja ada bekas luka yang mengganggu, jadi kututupi. Boleh aku duduk sekarang?” Ia menoleh ke arah bu Rifumin.
“Ah, tentu saja, silakan duduk di tempat duduk kosong dibelakang Miu,” guru wanita yang masih cantik itu menujuk ke arah gadis yang pertama kali bertanya tadi. Nura berjalan malas menuju tempat duduknya. Dia berjalan melewati Emina yang masih menundukkan kepala di tempat duduknya. Anak laki-laki itu memandanginya hingga dia mencapai tempat duduknya. Bahkan setelah duduk di kursi kosong itu, Nura masih saja memandangi Emina.
“Baiklah, anak-anak, keluarkan netbook kalian dan segera hubungkan dengan wifi kelas, lalu kumpulkan tugas kalian. Untuk Nura-kun, kau tak perlu mengumpulkannya.”
“Baik bu!” semua anak langsung sibuk dengan gadget kotak tipis yang mereka keluarkan dari tas masing-masing.
“Buka website yang kemarin, kita lanjutkan bahasan kita”
Waktupun berjalan, daun demi daun dipepohonan sekolah berjatuhan. Musim gugur ini, pelajaran terasa lebih lama dari pada musim lainnya. Bau daun gugur yang menguar memenuhi lingkungan sekolah membuat siswa AU akademi berjuang menahan kantuk mereka. Teman sekelas Emina kembali bergumul dengan mata pelajaran yang memberatkan pelupuk mata mereka.
Teng ... Teng ... Teng ...
Semua murid menghembuskan nafas lega, bagi mereka, saat ini tidak ada suara yang dapat mengalahkan kemerduan suara bel itu. Mereka beringsut membereskan peralatan mereka dan satu per satu mulai bergegas meninggalkan kelas. Ada yang ke kantin, ada yang ke perpustakaan, dan tidak sedikit pula yang kembali ke asrama mereka. Emina termasuk salah satu yang bergegas ke kantin. Namun ia hanya duduk di sudut kantin memandangi makanannya yang nyaris tak tersentuh.
“APA ITU TADI!? Arrghhh!!! Ya ampun!! Aku malu pada diriku sendiri.” dia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, wajahnya sangat panas.
“Sudah ... sudah ... kau sendiri juga, kenapa tiba-tiba berteriak seperti itu?” Cirno, yang duduk di hadapannya, mengunyah roti sambil berusaha menahan tawa.
“Dia adalah orang yang kulihat tadi pagi bersama kepala sekolah, dan entah kenapa, dia nampak berbeda dengan yang lain.”
“Berbeda? maksudmu?”
“Arrghhh!! Aku tak mau membahasnya, aku benar-benar kesal!” Emina menggigit makanannya dengan kesal. Seakan dia berharap bahwa roti di tangannya itu adalah kepala anak laki-laki yang berhasil membuatnya kesal itu.
“Ahahahah! Yasudah, tapi pelan-pelan makannya,” Cirno tersenyum geli melihat tingkah sahabatnya itu.
“Hmmm ... hmmm” Gumam Emina sambil mengunyah makannannya.
“Hei, itu Miu, kan? Hei Miu!” Cirno melambaikan tangannya ke arah pintu masuk kantin. Orang yang memiliki nama pun menoleh dan tersenyum kecil ke arah Cirno.
“Kau bawa bekal, ya? Ayo! Makan di sini saja.” Cirno menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.
“Eh? Umm ... tapi aku sudah berjanji dengan temanku untuk makan di tempat lain, maaf ya.”
“Oh, yasudah kalo begitu, mungkin lain kali.” Cirno terlihat sedikit kecewa, tapi dia tetap memperlihatkan senyum manisnya.
“Yap, mungkin lain kali ... hihihi” Miu Tersenyum lebar. Tak lama kemudian gadis itu menghilang di balik pintu kantin.
Emina memandangi kepergian Miu, “Cirno ...” panggilnya.
“Ya?”
“Apakah kau pernah melihat Miu makan dikantin?”
“Aku tak begitu yakin, tapi aku memang tak pernah melihatnya ada disini … begitu juga si Mutia, dia juga langsung menghilang segera setelah bel istirahat berbunyi.” Cirno kembali mengunyah makanannya seolah tak peduli.
“Kemana ya, mereka.” Ucap Emina pelan.
“Entahlah, hei, ayo cepat habiskan makananmu itu, sebentar lagi waktu istirahat selesai.”
“Aah ... iya iya.”
Benar saja, tak lama kemudian bel kembali berbunyi.
“Setelah ini biologi ya?”
“Yap, yaahh paling pak Hacchi tak datang lagi seperti biasanya, atau malah telat.” Cirno tersenyum penuh semangat.
“Hihihi ... mungkin kita akan dapat jam kosong?” Emina ikut tersenyum, membayangkan dua jam penuh tanpa kehadiran guru eksentrik itu di depan mereka.
“Mungkin saja! Hahaha.”
Di ujung lorong terlihat sekelompok siswa berjalan bersama. Di depan mereka berjalan seorang gadis yang berjalan anggun. Mereka adalah anggota OSIS akademi ini, dengan gadis anggun itu sebagai ketuanya. Fujha, ketua OSIS yang merupakan siswa paling disegani di akademi ini. Emina yakin, mata sang ketua OSIS tertuju kepadanya. Serentak Emina dan Cirno menghentikan langkah mereka dan menanti anggota OSIS itu berjalan ke arah mereka.
“Kalian, kelas 1-U kan?” Suara sang ketua OSIS memecah keheningan, saat mereka telah berdiri di hadapan Emina dan Cirno. Suara gadis itu terdengar penuh wibawa untuk anak seusianya.
“Iya, kami dari kelas 1-U,” Emina menundukkan kepalanya, tak berani memandang langsung pada gadis yang berbicara padanya.
“Kalau aku tak salah, ada murid baru bernama Nura Sekimoto, kan? Kalian tahu di mana dia?” Suara Fujha sedikit melembut melihat ketegangan kedua gadis di depannya.
“ Sa ... Saat bel istirahat, dia masih berada di bangkunya mendengarkan musik ... mungkin saja, dia masih disana.” Emina menjawab terbata-bata.
“Tidak, dia tak disana. Aku baru saja dari kelasmu, dan dia tidak ada di sana. Begini saja, saat kau bertemu dengannya tolong suruh dia ke ruang OSIS.“
“Oh, tentu, akan kusampaikan padanya”
“Sampaikan? Apakah yang kau maksud ‘mengantarkan’?
“Maksudnya?” Emina bingung kemana arah pembicaraan Fujha.
“Maksudku, aku ingin kau mengantarkan anak baru itu ke ruang OSIS!”
“Eh? Kenapa aku harus mengantarnya keruang OSIS?” Emina menatap wajah gadis di depannya itu. Mengingat wajahnya saja sudah membuat Emina kesal, apalagi harus mengantarkan Nura ke ruang OSIS.
“Dia itu anak baru, aku yakin dia tak tahu di mana letak ruang OSIS.” Suara Fujha berubah sedikit lebih tegas.
Emina terdiam, ia tak mau memperpanjang argumennya. Karena ia tahu, gadis yang berada di depannya ini, bukanlah orang yang tepat untuk diajak beradu argumen. Jabatan ketua OSIS adalah salah satu bukti jelas. Ia mengangguk. Gadis itu tersenyum kecil. Ia lalu menepuk pundak Emina dan berlalu.
“Pffttt... Hahaha... yang sabar Emi!” Cirno yang beberapa saat lalu masih berdiri kaku langsung meledak tawanya setelah suara langkah kaki sang ketua OSIS menghilang di ujung lorong.
“Aaaaahhhhhhh!!! Kenapa harus aku!?” Emina kesal bercampur panik. Kenapa harus anak baru itu? Disuruh ke ruang OSIS sudah merupakan hal buruk, ditambah dia harus kesana bersama anak baru yang menjengkelkan itu.
“Hihihi ... sudahlah, terima saja takdirmu,” Cirno berusaha menahan tawanya, agar tidak memenuhi lorong sekolah.
“Kenapa aku harus mengantar orang itu!? Sudah matanya seperti ikan mati! Mana kelakuannya sangat menjengkelkan lagi!” Emina menendang lantai.
“Umm … Emi?” Suara cirno berubah, tidak ada lagi tawa renyahnya. Tapi Emina terlalu kesal untuk menyadarinya.
“Sok memakai perban, apa dia pikir seperti akan membuatnya keren!?”
“Emi?” Cirno mulai sedikit panik.
“Bajunya dikeluarkan sesuka hatinya! Bahkan kalau kau lihat baik-baik, dia memakai anting kecil di telinga kanannya! Dasar berandal!”
“Siapa yang berandal?” Sebuah suara terdengar dari belakang Emina.
“Murid baru itu! Siapa tadi namanya? Umm ... ahh ... siapalah itu?”
“Nura Sekimoto?” suara itu menjawab pertanyaan Emina. Cirno hanya bisa memandangi Emina dengan sorot mata kasihan.
“Nah! Dia!”
“Umm ... Emi?” Cirno berusaha sekali lagi.
Ada apa sih, Cirno? Dari tadi kau memanggilku terus!” ucap Emina tidak sabar, ia melihat Cirno menunjuk ke arah belakang dirinya dan mengikuti arah yang ditunjuk.
“Eh!?” Emina hampir melompat dari tempat dia berdiri.
Ternyata Nura sudah berada di sana sejak ketua OSIS meninggalkan mereka. Dan ia mendengarkan semua celoteh Emina.
“Berandal, hah? Baru pertama kalinya ada yang berani bilang itu padaku.” Kata laki-laki itu dengan nada tidak peduli.
“Ah! It-itu Cuma ... bercanda ... ahahahahha” Emina panik, dan mencoba tertawa, walau tawa yang keluar lebih mirip tangisan.
“Bercanda? Oh … aku baru tahu, ternyata ada cara bercanda yang bisa menusuk hati, ya?” ucap Nura pelan.
“A … Aku …” Emina tidak tahu harus berkata apa. Semua kata seolah hilang dari pikirannya.
Sudahlah~ ya ampun ... Nura-kun, maafkan lah Emi, aku yakin dia tidak bermaksud begitu kok.” Cirno ikut berbicara. Ia merasa iba melihat sahabatnya panik seperti itu.
Nura hanya diam menanggapi perkataan Cirno. Cirno menghela nafasnya.
“Emina, apa kau lupa dengan apa yang dikatakan ketua OSIS tadi?” Cirno kembali mengalihkan topik agar Nura tidak memperpanjang masalah.
“Ah! Benar juga! Nura … -kun?”
“Nura saja tak masalah.”
Eh? Umm, baiklah. Nura, kau ikut denganku keruang OSIS sekarang, ayo!” Emina berjalan mendahului Nura.
Hah? Untuk apa aku datang kesana?” Nura jelas tidak senang dengan hal ini.
“Entahlah, tapi ketua OSIS mencarimu.”
Ketua OSIS?” Sorot mata Nura tiba-tiba jadi serius.
Yap, ayo!”
“Ah, aku ke kelas duluan ya.” Cirno pergi meninggalkan mereka berdua.
“Ok. Oi nura, ayo!” Emina memandangi nura. Murid pindahan itu tidak bergerak sedikitpun dari tempat dia berdiri.
Baik ... Baik.”
Kedua siswa itu pun berjalan menuju ruang OSIS. Emina berada di depan, sedangkan Nura di belakang mengikutinya sambil mengenakan earphone. Sudah tiga menit mereka berjalan, namun sama sekali tidak ada percakapan antara mereka. Suasana akademipun sepi, karena sudah waktu sudah memasuki jam pelajaran.
Cang-Canggung, katakan sesuatu, bodoh. Pikir Emina
Seakan mendengar pikiran Emina, Nura berkata, “Ah, benar juga … aku belum tahu siapa namamu.”
“Eh !? Apa kau tak membaca namaku di atas mejaku?” Emina sedikit panic. Dia tidak membaca pikiranku, kan? Pikirnya.
“Yaa ... aku melihatnya, tapi tulisannya terlalu kecil, well, aku bahkan tak tahu kalau itu sebuah tulisan” Nura menjawab acuh tak acuh.
Ya ampun, bilang saja kau bahkan tidak terlalu peduli untuk membacanya, pikir Emina jengkel. “Namaku Emina Museirin.” Emina berusaha menelan kekesalannya.
“Musei-“
“Ah! Panggil saja Emina ... semua orang memanggilku seperti itu.” jawab Emina Cepat.
“Bukannya tidak sopan memanggil nama depan seseorang?”
“Kau sendiri juga sama, kan!? Semua juga memanggilmu Nura.”
“Ahh ... benar juga, nama depanku itu Nura.” Gumamnya pelan.
“Hm? Apa yang kau katakan?”
“Ah, tidak ... tidak ada apa-apa.” Nura terdengar sedikit panik.
“Setelah ini, kita akan belok ke kiri dan lurus, nanti kita sampai di ruang OSIS.” Emina menunjuk belokan di depan mereka.
“Jauh juga ya.” Nura menoleh ke belakang, memandangi jalan yang sudah mereka lewati.
Emina menoleh ke arah Nura dan mulai berjalan mundur. “Akademi ini luasnya lebih dari 2500 Ha , jadi jangan heran bila sedikit jauh” Katanya.
“Uwaahh! Besar juga.” Nura memandangi halaman akademi melewati jendela.
Hm? Memangnya kau tidak diberitahu oleh kepala-“
Brukk ...
“Aduh ...” Emina merasa seperti menabrak sesuatu, dia terjatuh, diiringi kertas-kertas yang ikut berserakan di sekitarnya. Ternyata Emina menubruk seorang laki-laki berbadan tinggi. Laki-laki itu memegangi setengah kertas yang sebagiannya telah berserakan karena tubrukan Emina. Dia memejamkan mata menahan emosi. Emina secepat kilat berdiri dari lantai saat tahu siapa yang dia tubruk.
“A ... ak-aku, aku minta maaf! Satria-senpai! Aku tidak sengaja!” Emina Menunduk panik, sekali lagi dia berurusan dengan orang yang salah.
Satria melepas kacamatanya, dan terlihat jelas pandangan dingin dari matanya.
"Emi, ini adalah tanggal 29 oktober, hari rabu, jam 1 siang, menit 34 ... kau tahu apa artinya? Kalau kau belum tahu, ini deadline untuk koran sekolah.” Katanya dingin.
“Ma ... Maafkan aku!” Emina semakin menunduk. Kata-kata Satria yang tenang dan dingin terasa lebih menakutkan dari pada seandainya lelaki itu membentaknya.
“Lagi pula, kau berjalan mundur seperti itu ... kau ini orang atau-“
“Hei, sudahlah ... dia bilang tak sengaja, kan?” Nura memotong perkataan Satria.
“Hm? Siapa kau?” Satria menoleh ke arah Nura. Jelas dia tidak suka perkataannya dipotong seperti itu.
“Dia Nura Sekimoto, murid baru di kelasku, ah! Dia tak ada kaitannya dengan ini, jadi-“ Emina berusaha menengahi suasana yang tidak enak antara dua laki-laki itu.
“Nura? Ngomong-ngomong Emi, kau mau pergi kemana?” Raut wajah lelaki itu langsung berubah saat mendengar nama Nura.
Dia mulai memunguti kertas-kertasnya yang berserakan.
“Etto, aku disuruh Fujha-san untuk mengantar Nura ke ruang OSIS” Jawab Emina sambil ikut memunguti kertas di sekitarnya.
“Hoo, begitu.” Satria bergumam dengan suara nyaris tak terdengar.
“Maaf, ini.” Emina menyerahkan kertas-kertas yang dia pungut.
“Oh, thank’s.” Satria mengambil kertas di tangan Emina.
Kau ... tampak persis seperti dirinya.” Bisik Satria.
Hah? Siapa?” Nura kaget mendengar perkataan Satria
“Entahlah, aku lupa. Ah bukan, aku hanya tidak ingin mengingatnya.” Satriapun berlalu menuju ruang klubnya.
“Ah, iya. Emina, lain kali jangan berjalan mundur seperti itu lagi.” katanya setelah berjalan beberapa langkah.
“Ba-baik” Emina membungkuk ke arah Satria.
Cih ... siapa dia!? Sombong sekali.” Nura terlihat sangat kesal.
“Sudah ... Sudah ... dia bukannya sombong, tapi memang seperti itulah Dia.” Emina mencoba menenangkan. Aku jadi takut bagaimana kalan Nura bertemu adik Satria-senpai? Pikirnya.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tak lama, terlihatlah sebuah pintu ruangan yang berbeda dengan pintu lain. Sedikit lebih besar dan terdapat sebuah ukiran yang kurang jelas. Emina membuka pintu tersebut.
“Permisi.” Bisiknya. Rasa takut membuat suaranya nyaris tak terdengar.
Terlihat Fujha, sang ketua OSIS tengah memeriksa beberapa berkas-berkas. Tak ada orang lain disana. Bau ruangan yang cukup wangi dan musik kecil yang berasal dari sebuah tape kecil membuat suasana disana sangatlah tenang dan damai
“Ahh.. kalian, duduklah” Fujha melepas kacamatanya dan menunjuk dua buah kursi didepan mejanya.
“Ba... baik”
Ketua OSIS itu mengambil 2 lembar berkas, dan membacanya sebentar.
“Nura Sekimoto, usia 17 tahun, asal sekolah sma kazeichi, dan informasi lainnya, kosong.” Fujha meletakan berkas ditangannya tersebut. “Waw, aku cukup terkejut anak tak jelas sepertimu bisa diterima masuk disini” lanjutnya memandang kearah Nura.
Pffftt.. Anak tak jelas. Emina berusaha menahan tawanya.
“Hah?? Apa kau punya masalah dengan kehadiranku diakademi ini?” Jawab Nura ketus.
“Dan bahkan.. kau direkomendasikan oleh kepala sekolah sendiri. yah, aku tahu kau memiliki prestasi di olahraga, tertulis jelas disini. Tapi semua “sertifikat juara” mu ini tak menyebut tahun pelaksanaannya, bukankah itu mencurigakan?” Tanya Gadis itu lagi, tidak memperdulikan jawaban Nura yang ketus. Dia hanya tersenyum kecil.
“Kalau kau ingin bukti, silahkan cari sendiri informasinya, kalau disuruh untuk memberitahukan siapa penyelenggaranya, atau bahkan menunjukan tempat penyelenggaraannya, akan kulakukan itu untuk membuatmu senang”
Hahaha..” Fujha tertawa kecil. “Nah.. tidak perlu, aku percaya.Cukup mudah untuk membuat laki-laki berkata yang sejujurnya.” Dia tersenyum puas.
“ Lalu, emi” Senyum diwajah cantik itu hilang kembali digantikan keseriusan. Fujha menatap Emina yang sedari tadi diam saja.
“Y...Ya?”
Kudengar kau belum bergabung dengan satupun klub diakademi? siswa wajib mengikuti kegiatan ekstrakulikuler/klub sekolah yang telah diresmikan oleh 3 pimpinan. Masih ingat peraturan yang satu itu?”
Tentu saja masih” Emina menunduk menghindari tatapan Fujha.
“Kalau begitu, lekaslah tentukan pilihanmu.. atau kau ingin-”perkataannya terputus
“Ya?”
“Ah, tidak, lupakan. Pokoknya kau harus menentukan klub yang akan kau masuki secepat mungkin” Gadis itu memandang keluar jendela. “Dan itu juga berlaku untukmu Nura. Mengingat kau adalah siswa akademi ini mulai hari ini.”
“Apa? Aku juga?” Nura ingin membantah lebih lanjut, tapi tatapan Fujha membungkamnya.
“Baiklah, cukup sekian yang ingin kubicarakan. Kalian boleh pergi. Kalian masih ada kelaskan? Aku tidak mau menahan kalian lebih lama.”
“Kalau begitu, kami permisi dulu.” Emina bangkit dan berjalan menuju pintu diikuti Nura.
Baam.
Emina menutup pintu rang OSIS itu dengan lega. Dia senang alasan ketua OSIS memanggilnya bukan karena hal hal yang buruk.
“Huh,klub ya? Klub apa yang akan kau pilih? “Emina memandang Nura yang berjalan disampingnya.
“He? Kau tanya aku!? Aku saja tak tahu ada berapa klub disini!”
“Benar juga ya, mungkin lebih baik kita kembali kekelas dulu. Semoga pak Hachi benar tidak masuk hari ini.”
“Ah tentang itu, kau duluan saja, ada yang harus aku kerjakan dulu”
“Oh, yasudah, tapi jangan lama-lama ya, siapa tahu pak Hachi cuma terlambat atau apa” Emina berlalu menuju kelasnya.
Nura hanya mengangguk kearah kepergian Emina. Setelah sosok gadis itu hilang dari pandangan, Nura berjalan menuju sebuah ruangan yang berada di lorong yang berseberangan dengan ruang OSIS. Dia mengetuk pintu itu pelan.
“Oi, ini aku” Bisiknya
“Hoo, nura, kau kah itu? Ada apa?” Sebuah suara terdengar dari balik pintu. Tapi pintu itu masih saja tertutup.
“Sepertinya nanti sepulang sekolah aku tak bisa ‘kesana’”
“Hah? Kenapa?” Jelas si pemilik suara tidak mengharapkan hal itu.
“ Ketua osis itu menyuruhku untuk berkeliling akademi “
“Dia ya? Yasudah, lakukan saja seperti yang ia katakan. kita tak boleh mengacaukan rencana, dan gadis osis itu, adalah orang yang bias merusak rencana. Kalau bisa, jauhi dia!” Suara itu terdengar sedikit takut.
“Baik, aku mengerti”
Tak ada suara lagi yang terdengar dari balik pintu itu. Nura terdiam, melihat tangan kirinya yang terbalut perban. Aku harus hati-hati pikirnya.
Setelah kelas terakhir selesai, Emina menceritakan semua yang terjadi diruang OSIS pada Cirno. Dengan senyum menjengkelkan, Cirno balik duluan ke asrama. Emina menunggu Nura keluar di depan pintu kelas.
“Sekarang, bagaimana kita menentukan klub ya?” kata Emina saat mereka berdua berjalan menuju halaman sekolah.
“Aku ingin klub yang tak terlalu dikenal, ada tidak?”
“Ahh.. mengenai itu, lihat ini.” Emina mengarahkan layar ponselnya ke wajah Nura.
Hmm?” Nura membaca sekilas yang tertulis di layar posel itu.
“Apa maksudnya ini?” tanyanya.
“Ketua osis tadi mengirimiku e-mail, dan dia hanya memperbolehkan kita masuk diklub yang ia pilihkan.”
“Hah!? Dia memilihkan untuk kita!? Bukankah itu sama saja dia mengambil hak kita untuk memilih klub?”
“Tidak juga sih, soalnya klub yang masih buka pendaftaran di waktu seperti sekarang tinggal beberapa, jadi dari awal memang pilihan kita terbatas.”
 “Kau bercanda, kan? Lalu, bisa kau sebutkan klub apa saja itu?” Nura memegangi kepalanya frustasi.
“Ah sebentar, aku belum melihat klub mana saja. Dia mengatakan akan mengirim daftarnya segera setelah bel pula- “
Tring.. Ponsel ditangannya berbunyi
Oh! Ini dia.” Emina membaca E-Mail tersebut perlahan keningnya berkerut.
“Oi, jadinya bagaimana? Klub apa saja?”
“Ummm...” Emina kembali menunjukkan layar ponselnya ke wajah Nura.
Emi, silahkan datang ke ruang klub koran untuk melihat daftar selanjutnya. Sekian. Fujha.
“Sialan, apa-apan maksudnya ini?” Nura makin kesal.
“Aku yakin dia sengaja melakukan ini agar kau mau berkeliling, karena aku yakin, dia bisa menebak kalu kau diberi daftar lengkap klubnya kau pasti akan memilih satu klub secara random.” Jawab Emina dengan wajah datar.
Nura hanya diam. Tapi dari raut wajahnya jelas dia benar-benar jengkel.
Tak lama mereka berdua telah berada di depan ruang klub koran.
“Permisi” Emina megetuk pintu itu 2 kali, dan membukanya dengan pelan.
Terdapat 5 orang didalam ruang itu. mereka tengah bekerja. Satria yang tak lain adalah ketua klub segera berjalan kearah Emina. Nura langsung memasang postur tegang saat melihat wajah Satria.
“Ada apa, emi?” tanya Satria datar.
“Ke-ketua OSIS menyuruh kami kesini untu-“
“Ah, aku sudah tahu” Satria memotong perkataan Emina cepat.
“Kalau begitu-“ Emina menghela napas, mengumpulkan segenap keberaniannya.
“Selanjutnya klub musik, sudah itu saja. Kalian boleh pergi”
“Eh!? Kau belum menjelaskan apapun tentang klub Koran senpai.” Emina bingung
“Emi, kau sudah 1 tahun berada disini. Apa perlu ku ulangi lagi penjelasan tentang kub koran? Aku yakin dengan pasti kau masih
ingat dengan setiap kata yang kuucap pada hari penerimaan siswa dulu, kecuali kau tidur saat aku berbicara penjang lebar.”
“Ti, Tidak mungkin aku tertidur, aku masih ingat kok”
“Kalau begitu, urusan kalian disini sudah selesai, aku lagi sibuk” Satria mendorong mereka berdua keluar dan menutup pintu.
Kenapa dia itu sangat menyebalkan!! Selalu, selalu dan selalu!!” Omel Nura saat mereka berjalan menuju ruang musik.
“Sudahlah, bukankah bagus, dia membuat pekerjaan kita lebih mudah” lagipula, aku memang lebih baik menghidar darinya, piker Emina.
Lalu, ruang klub musik itu.. dimana?”
Klub musik itu di-“ sebuah pikiran menghentikan kata-kata Emina. Tunggu dulu!! Klub musik!? Itu berarti adiknya Satria-senpai... Gawat ini benar-benar gawat.
“Oi, Ada apa?”
“Tidak,tidak.. Tidak ada apa-apa..” Kumohon Nura, jangan sampai kau membiarkan emosimu keluar nanti. Emina berdoa dalam hati.
Saat menuruni tangga, Emina melihat teman sekelasnya, Miu tengah menempelkan sebuah kertas di mading. Segera banyak siswa yang membaca kertas itu.
“Miu!” Panggil Emina sambil melambaikan tangan.
“Oh! Emi! “ Gadis itu berjalan kearah Emina dan Nura. Dia dengan mudah menyelip diantara kerumunan siswa.
“Ah itu, klubku akan mengadakan mini show besok malam minggu. Datang ya”
“Benar juga, Miu juga dari klub musik ya. Aku sampai lupa. Apa kau mau kembali keruang klubmu?” Secercah harapan terlintas dimata Emina.
“Begitulah, aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Jadi aku mau kembali keruang klub.”
“Kebetulan, kami juga mau kesana”
“Dengan dia?” Miu memandang kearah Nura dengan tatapan penuh arti.
“Apa?” Tanya Nura ketus.
“Tidak, tidak apa-apa. kalau begitu, ayo!” Miu tersenyum kearah dua teman kelasnya itu.
“Kalian tahu tidak? Disebelah kanan ruang musik nanti, akan ada aula yang cukup besar, biasanya kami mengadakan show disana kalau didalam akademi.” Suara Miu memecah keheningan. Semacam kebanggan terdengar dibalik kata-katanya.
“Klub besar mendapat fasilitas besar juga ya” Gumam Emina lebih kepada dirinya sendiri.
“Yaa.. memang terdengar tak menyenangkan sih, tapi memang seperti itulah sistemnya” Nada bicara Miu berubah defensif.
Tak sampai 10 menit mereka berjalan, mereka sampai didepan sebuah pintu yang tergolong besar untuk ruang akademi. Miu dengan santai membuka pintu itu dan melangkah masuk.
“Aku kembali”
“Ahh.. selamat datang” Seorang siswa laki-laki menjawab tanpa menoleh kearah suara. Kelihatannya dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Itu dia, pikir Emina. Kemcemasannya semakin meningkat. Dia melirik Nura yang berdiri disebelahnya. Laki-laki itu memandangi seluruh penjuru ruangan kecil itu tanpa minat. Semoga tidak terjadi apa-apa, semoga tidak terjadi apa-apa Emina berdoa lagi.
“Kelihatannya, show besok akan dilihat banyak siswa.” Miu berjalan mendekati lelaki itu.
“Oooh..” Lelaki itu menyahut masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Anoo.. Permisi” Emina mencoba menarik perhatian lelaki itu.
“Miu, ada yang datang” Sahutnya masih tanpa menoleh.
“Tidak, mereka sudah sejak tadi disana” Miu tersenyum kecil.
Oey! Kalau ada yang bicara, setidaknya tataplah orangnya!” Nura yang sedari tadi menahan dirinya membentak.
Lelaki itu meletakkan benda yang dipegangnya sejak tadi. Ternyata sedari tadi dia sibuk mengelap gitarnya. Dia menolehkearah ketiga anak itu.
“Uwaaahh! Ketua klub koran tadi!” Nura mundur beberapa langkah saking kagetnya.
“Bukan! Mereka hanya kembar.. dia Airtas-senpai, dia adik kembar dari Satria-senpai” Emina mencoba menenangkan Nura.
Tanpa aba-aba, Airtas berdiri sangat cepat. Dangan langkah pelan dia berjalan ke hadapan Nura. Dia menatap Nura dalam jarak sangat dekat.“Bicaralah, aku tengah menatapmu” Katanya dingin, tidak kalah dingin dibanding kata-kata kakaknya.
“A..Anoo.. Airtas-senpai, ka.. kami-“ Emina berusaha agar tidak terjadi pertumpahan darah disini, Dihadapannya, oke itu terdengar sedikit berlebihan. Tapi tetap saja Emina tidak ingin melihat pertengkaran dihadapnnya.
“ Oh, emi, kah? Ada apa? Ahh… maaf, sebelum itu, siapa orang brengsek nan sialan dibelakangmu ini? Ahh.. maafkan aku lagi, siapa orang berwajah sialan, brengsek, dan menyedihkan itu?” Airtas menatap Nura denga tatapan tajam.
“Hey..” Nura berusaha sekuat tenaga agar tidak memukul Airtas, tangannya terkepal kencang.
Itu...Itu... Ketua osis yang menyuruh kami kesini” Emina berusaha menarik perhatian Airtas lagi dari Nura.
“Fujha?” Airtas mengangkat sebelah alisnya.
“Ya” Jawab Emina sedikit terlalu bersemangat. Dia lega perhatian Airtas telah teralihkan dari Nura.
“Oohh.. Tentang klub apalah itu ya?”
“iya, tentang klub” jawab Emina.
Klub apalah itu? apakah lelaki ini bahkan peduli dengan hal ini? pikir Emina.
“Hei, Miu. Tolong jelaskan pada mereka.. aku mau kedalam dulu.” Airtas berlalu tanpa menunggu jawaban dari Miu.
“Eehh!? Aku!? Kenapa tak kau saja? Kau kan wakil ketua klub.” Protes Miu saat Airtas hampir memasuki pintu ruangan di sebelah kiri ruangan musik.
“Aku mau saja.. Tapi karena ada seonggok manusia itu didekatku, aku jadi mual” Airtas menjawab acuh tak acuh.”
Hoy!! Bila kau tak teri-“ Nura hendak mengejar Airtas yang telah menghilang dibalik pintu, sebelum Emina menahan tanganya.
“Dan juga kau mirip Dia” suara Airtas terdengar dari balik pintu.
“Huh? Kembaranmu tadi juga mengatakan hal yang sama, sebenarnya siapa yang kalian maksud !?” Nura semakin jengkel.
“Ntahlah, aku sudah lupa” suara Airtas terdengar makin jauh.
“Baiklah, sepertinya kalian adalah tanggung jawabku” kata Miu sambil tersenyum. Miu membimbing mereka keruangan yag dimasuki Airtas sebelumnya. Ternyata dibalik pintu itu adalah Aula yang diceritakan
Miu saat meraka berjalan menuju ruang musik tadi. Di dalam ruangan itu ramai anak-anak anggota klub musik mempersiapkan diri mereka sebelum pentas.
“Didalam ruangan klub ada aula sebesar ini?” Emina memandangi setiap sudut Aula itu dengan mata takjub.
“Ohh, anggap saja ruangan tadi itu adalah ruang tamunya. Dan yang disini adalah isi rumahnya” Miu kembali tersenyum bangga.
“Besar juga ya” gumam Emina. Dia mereka-reka berapa orang kapasitas aula besar ini.
“Oh, langsung saja pada intinya. kalian sudah tahu kan klub musik ini, tidak beda jauh dari klub musik biasa, tapi yang pasti klub musik ini adalah klub terbesar di akademi kita ini. dan juga- hey, kau yang disana? Apa kau mendengarku?” Miu mengarahkan jari telunjuknya yang lentik ke arah Nura.
Oh.. apa ?” nura sedikit tergagap. Dia daritadi menatap tajam Airtas yang nampak melanjutkan pekerjaannya tadi di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.
Miu menarik nafas dalam sebelum melanjutkan, “selanjutnya adalah klub basket.. setelah itu klub pemanah, klub pecinta alam, dan yang terakhir klub pertolongan pertama” dia menghitung dengan jarinya.
Eh!? Kau sudah tahu semuanya!?”
“Tentu saja Emi, aku memberitahumu hanya agar dia tak bertemu dengan orang lain.” Dia kembali menunjuk Nura.
Perilakunya itu, hanya akan membuat jengkel orang lain”
“Hah!? Aku!?” Nura menunjuk dirinya dengan sorot mata bingung.
Yaa, mungkin kau benar juga.” Emina menggangguk setuju.
“Apa?” tahu dia tidak bisa berbuat banyak, Nura hanya menutup mulutnya kembali.
“Ahh.. mungkin aku memang tak pantas disini, benar-benar menjengkelkan sekali orang-orangnya.” Dia berjalan meninggalkan dua gadis itu dibelakangnya.
Eh!? Nura-“ Emina bingung apa yang terjadi. Apakah bercandanya sudah keterlaluan ?
Bahkan.. yang “sejenis” denganku saja tak menerimaku” Nura kembali bergumam diantara langkah kakinya.
“Eh?”
Nura pergi melewati pintu ruang musik. Emina masih berdiri mematung ditempatnya. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Apa yang dimaksudnya dengan sejenis? Mungkinkah..?
“Umm.. miu, aku ingin-“
“Mengejarnya, kan? Kejarlah. Bagaimanapun, dia adalah salah satu teman sekelas kita” Miu tersenyum lembut.
Emina mengangguk. Lalu ia berlari kearah Nura pergi tadi.
Melihat Emina sudah tak terlihat, Miu mengambil ponselnya. Sebuah suara langsung mengangkat panggilan miu di dering pertama. “jadi?”
“Positive. Dialah orang itu.” jawab Miu sedikit berbisik.
“Kalau begitu, suruh 2 orang itu untuk mengikutinya.” Suara diseberang telpon itu memerintah dengan suara datar.
“Baik, akan segera kuhubung-“
“Tak perlu, aku sudah menghubungi mereka” Entah dari mana dan sejak kapan, Airtas telah berada dibelakang Miu.
“Eh?” Miu tidak berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Kerja bagus. Nanti malam, kita berkumpul.” Si suara datar kembali berbicara dari ponsel Miu.
“Siap” Miu dan Airtas menjawab serentak. Emina melihat pintu keatap sekolah terbuka. Ia menaiki tangga satu demi satu. Terlihat Nura tengah bersandar ditembok sambil melihati langit biru.
“Kau disini ya?” Emina berjalan mendekat.
“Hmm? Ohh.. Tempat ini menenangkan.” Jawab Nura tenang.
“Pada akhirnya, semua klub yang direkomendasikan adalah klub populer, ya? Emina bersandar pada dinding disebelah Nura.
Nura tidak berkata apa-apa, dia terus memandangi langit diatas sana.
Emina melirik Nura yang tak menjawab. Ia lalu melihat Nura dengan pandangan serius. Emina memberanikan diri menanyakan pertanyaan yang dari tadi mengganggunya.
“Nura, kau tadi bilang.. bahwa kita ini sejenis, kan? Apa maksu-!!”Nura tiba-tiba menarik tangan Emina sampai Emina terlihat tengah memeluknya. Ia lalu menyibak rambut belakang Emina. Ia lalu tersenyum karena melihat sebuah tanda disana. Emina yang masih shock tiba-tiba mendorong Nura kebelakang dan segera menutupi tanda itu dengan tangannya.
“A-Ap-Apa.. Apa yang kau lakukan!?” emina mundur menjauh dengan wajah panik. Wajahnya memerah, dan terasa panas sekali.
“Enak sekali ya kau.. Dibuat oleh perusahaan terkenal di kota ini, kalau boleh jujur, aku iri.” Mata Nura terlihat menerawang.
Ja-jangan seenaknya melihat tanda android orang lai- eh? Tunggu dulu! Kalau kau tahu aku ini android, maka.. kau ini..” Emina mulai mengerti maksud perkataan nura tadi.
Ya, aku juga” Jawab Nura. Saat itu juga mata kiri lelaki itu perlahan berubah menjadi ungu. Terdapat semacam tanda dimata itu.
Tandamu dimata.. itu berarti.. Kau adalah android tempur!?” Emina sedikit kaget bercampur kagum.
“Dulu” Nura memejamkan mata kirinya. “Sekarang tidak” Dia membukanya kembali. Warna matanya kembali normal.
Siapa.. yang membuatmu?” Emina diselimuti rasa penasaran.
Aku diaktifkan oleh perusahaan dinegeri timur sana” Emina tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar itu. Dia terkejut bukan main.
Ya, aku adalah salah satu android yang membuat perang disana. Aku telah membunuh banyak manusia. Melakukan misi pembunuhan para mentri. Dan berbagai macam hal lainnya.” Nura menghembuskan nafas panjang.
Eh?!” Emina menutup mulutnya dengan tangan.
Menyedihkan, ya? Aku yang dulunya seorang pembunuh, harus berakhir diakademi bodoh ini. Dan juga.. Aku harus menuruti kata-kata manusia itu
Manusia itu?”
“Hal ini sangat membuatku jijik saat harus berpikir bahwa tuanku sekarang adalah seorang manusia, pernah terpikirkan olehku, ‘lebih baik aku terlindas tank pada saat itu, atau terkena tembakan virus A-rex, atau hal lainnya’.. yang penting, aku tak perlu hidup sampai sekara- !!”
PLAKKK !!
!!!... Kepala Nura tersentak kebelakang akibat kerasnya tamparan yang mendarat diwajah.
“JANGAN MENGATAKAN HAL BODOH SEMACAM ITU!!” Emina berdiri dihadapan Nura yang meringis dengan mata berapi-api.
Nura melihat sebulir air mata mulai menetes dari mata gadis dihadapannya itu. Dia bisa menangis? Pikirnya kaget.
Kau harus menghargai hidupmu! Hidup kita ini ABADI, kan!?” Emina meraih kerah baju Nura dengan kasar.
Kita dibuat oleh manusia, dirakit oleh manusia, dengan tujuan apa? Untuk membantu pekerjaan mereka! Itu adalah hal yang harus kita bayar sebagai ganti membuat kita hidup!” Emina menunduk memukul-mukul dada Nura.
“ Bahkan.. Bahkan android yang dibuat untuk tujuan burukpun, seharusnya tahu itu!! Bila kau malah ingin mati, itu sama saja kau tak menghargai pembuatmu!” Lanjutnya dengan air mata membasahi wajahnya.
Ma-maaf.” Nura tidak tahu harus berbuat apa.
 “Dulu, aku memiliki teman.. dia seorang profesor, dia sangat mencintai semua android buatannya.. dia pernah bilang padaku, ‘menyenangkan sekali ya menjadi android, kalian bisa melihat dunia indah ini selamanya’..” Suara Emina makin merendah hinga nyaris tak terdengar diantara isak tangisnya.
“1 minggu setelah itu.. dia terbunuh.. bahkan aku yang bukan android buatannya pun tahu, betapa sedihnya para android buatan profesor itu saat mengetahui pembuatnya meninggal.. dan aku yakin, bila ada manusia yang melihat android buatannya mati, dia juga pasti akan sedih.” Emina mundur beberapa langkah. Berusaha menghapus airmata diwajahnya.
Nura terdiam. Pandangannya terlihat sedikit terkejut. Tiba-tiba Nura berdiri dan membungkuk 90 derajat kearah Emina.
Maafkan aku.. Aku benar-benar minta maaf.. Dan juga, aku mohon.. Berhentilah menangis.” Katanya menenangkan.
Entah mengapa, saat melihatmu menangis.. Aku merasa tak tahan melihatnya.” Sambungnya.
Emina tidak menjawab dia terus berusaha meredam isak tangisnya. Dan menghapus aliran air mata di pipinya.
Atau, lebih baik Kalau aku pergi dulu? Nura berdiri tegak, dan berjalan menuju pintu masuk dari atap.
Emina sendiri masih berada disana. Ia bersandar lalu duduk. Melihat keatas, dimana langit biru tengah cerahnya.
Bagaimana keadaanmu disurga sana? Profesor?” Bisiknya.
Sementara itu, disisi tembok yang lain. Terlihat 2 orang yang duduk bersandar. Mereka tengah memakan roti. Ditelinga mereka, nampak sebuah earphone terpasang
Kedua anak itu menempelkan kedua telapak tangan masing masing dan berkata, “Terima kasih atas makanannya.
Mereka lalu melepas earphone mereka. Salah satu dari mereka menarik kabel panjang kecil berwarna putih yang nyaris tak terlihat itu. Tak lama, nampak sebuah benda kotak kecil diujung kabel. Salah satu orang itu mengambil benda itu, dan melepas memory card nya. Ia lalu mengambil ponselnya, dan mengirim e-mail pada beberapa orang.
My room. 10 P.M Tonight.
“Yosh, ayo pergi” Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya.
Yap. Pekerjaan disini sudah selesai.” Temannya itu tersenyum kecil