Jumat, 05 Februari 2016

Snow of Happiness



Soft snow falling            Musim dingin dan salju, satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dinginnya udara seolah menggigit kulit yang tanpa perlindungan. Harusnya salju sudah mulai berhenti sekarang, tapi justru pagi ini butiran-butirannya yang tampak berkilauan seperti tercurah dari langit. Gerombolan awan putih bersih berusaha menghalangi Sang Matahari yang memancarkan cahaya hangatnya.
          Seorang gadis nampak sedang berjalan di trotoar tertutup salju yang mulai mencair. Ia berjalan dengan hati-hati, salju cair dapat membuatnya terpeleset. Ia menghela napas. Hatiku pun sedang musim dingin sekarang, batinnya, membeku bagai jalanan aspal itu. Ia merapatkan mantelnya yang berwarna hitam, berusaha menghalau rasa dingin yang dibawa oleh hembusan angin.
          Aku harap kelas Prof. Miller tak sedingin ini, ujarnya dalam hati sambil menghangatkan tangannya dengan uap yang ia hembuskan dari mulutnya. Ia terus berjalan memasuki gerbang sekolah yang berdiri kokoh. Lapangan nampak becek karena salju yang telah dibersihkan oleh petugas kebersihan sekolah meninggalkan begitu banyak air.
          ”Pagi, Irish.” sapa seorang gadis yang berpapasan dengannya di koridor di depan tangga.
          ”Hai, Pagi, Elly. Kau baru datang?” tanya Irish pada sahabatnya itu.
          ”Yep. Hehe.. aku hebat kan, tidak terlambat lagi!” sahut Elly riang, benar-benar riang.
          ”Yeah... hebat. Ada angin apa nih?”
          Elly nyengir lebar namun tak menjawab.
          “Well, kau sudah menyelesaikan rangkuman tentang Asia dan Eropa?” tanya Irish lagi setelah tak mendapat jawaban dari Elly. Mereka mulai menaiki tangga perlahan.
          Senyum Elly memudar. Ia mulai memasang tampang masam yang sering kali diperlihatkannya kala ia sedang tak senang pada sesuatu.
          “Yeah.. belum semua sih. Aku tak suka pelajaran itu. Terlebih lagi, aku tak suka pada siapa yang mengajar pelajaran itu!” umpat Elly, nada kesal mengalun dalam setiap kata-katanya.
          “Hei, jangan begitu! Kalau Prof. Miller dengar bagaimana?” tegur Irish seraya menoleh kanan-kiri, memastikan tak ada seorangpun yang mendengar perkataan Elly. “Berarti kau dalam masalah. Prof. Miller tak menerima tugas yang setengah-setengah, dan kau tahu hal itu. Lalu, apa yang akan kau lakukan?” lanjut Irish.
          “Mungkin.. seperti biasa.” tandas Elly.
          Cengirannya kembali lagi, dan Irish merasa kalau cengirannya memiliki makna yang tak menyenangkan.
          “Oh, jangan padaku lagi!” tukas Irish cepat.
          “Ehehehe.. aku hanya bercanda. Mungkin aku bisa mengkopi pekerjaan Alexander. Yah, kurasa kalau hanya satu-dua kali mungkin ia takkan marah.” ujar Elly ringan, seringan langkahnya ketika mulai memasuki kelas Prof. Miller.
          Tak ada seorangpun—bahkan Elly—yang menyadari dampak disebutnya nama itu dihadapan Irish. Gadis ini terpaku di ambang pintu dengan dada berdebar menyakitkan, seolah jantungnya akan melompat keluar lewat tenggorokannya. Tangannya mulai basah oleh keringat—dan jika mengingat sekarang ini adalah musim dingin, maka berkeringat tanpa melakukan apa-apa adalah hal yang cukup aneh.
          Irish mulai berjalan perlahan sambil tetap memperhatikan Elly yang meletakkan tasnya di kursi tengah, ketiga dari depan. Irish akhirnya meletakkan tasnya di kursi tepat di depan Elly.
          Belum banyak siswa yang hadir di ruangan itu. Irish melirik arlojinya. Sepuluh menit lagi, ucapnya dalam hati. Ia bangkit dan mulai berjalan menuju jendela, hal yang selalu dilakukannya tiap pagi. Ia melihat segerombolan anak laki-laki yang berlari-lari kecil melewati gerbang dan berusaha menghindari genangan air di lapangan yang baru saja dilewati oleh Irish beberapa menit yang lalu. Dan, tiba-tiba saja matanya tertumbuk pada satu sosok. Ia membelalak namun dengan cepat memalingkan wajahnya dan berjalan kembali menuju kursinya.
          “Sial! Aku lupa, dia juga mengambil kelas Prof. Miller pagi ini. Benar-benar sial.” rutuk Irish dalam hati.
“Kau kenapa? Kecut sekali tampangmu.” tanya Elly tiba-tiba sambil menatap Irish, keheranan.
“Tidak. Tak ada apa-apa!” jawabnya enggan seraya menghempaskan diri di kursi dan memandang kosong ke depan.
Tak lama kemudian pintu terbuka. Beberapa anak lelaki memasuki kelas sambil tertawa-tawa. Dia juga ada diantara mereka. Dia.. Alexander. Melihat hal itu, Elly langsung berdiri seraya tersenyum senang. Namun Irish justru merasa sebal. Entah kenapa.
“ Pagi, Alex.” sapa Elly. Kontan Irish menaikkan alisnya. Belum pernah sekalipun dalam hidupnya ia mendengan Elly berkata semanis itu. Well, oke, Elly memang anak yang manis, pemuja rahasianya pun lumayan banyak. Tapi bermanis-manis seperti itu... ya, ampun!
“Pagi. Wah, kenapa ya aku jadi curiga pada senyummu itu?” Alex menyahut dengan tetap tersenyum.
“Ah, ketahuan ya? Hehehe.. ya sudah, to the point, aku mau menyalin tugasmu. Boleh ya?”
Tanpa banyak bicara, Alex mengeluarkan bukunya dan menyerahkannya pada Elly. Elly menerimanya dengan senang hati.
“Jangan memandangiku seperti itu!” seru Irish ketus. Beberapa anak menoleh ke arah mereka namun dengan cepat memalingkan muka dan kembali ke kesibukannya masing-masing. Elly bahkan membelalak menatap Irish, tak mengerti apa yang sedang terjadi.
“Hahaha.. jadi kau tahu ya kalau aku sedang memandangimu? Wah, padahal kupikir takkan ketahuan.” tandas Alex, tetap dengan ketenangannya yang biasa. Kemudian ia berjalan ke belakang dan mengambil kursi paling belakang, wilayah favoritnya.
Sepeninggal Alex, Elly memandangi Irish sehingga membuat Irish salah tingkah. “Kau lihat apa??” tukasnya pada Elly yang masih tetap menatapnya.
“Aku heran padamu.”
“Maksudmu?”
“Kau masih saja kasar padanya, padahal ia kan sudah meminta maaf. Lagipula, apa kau tak bisa melupakan kejadian itu ? Oh, biar kuingatkan lagi, kejadiannya sudah berlalu, hampir tiga tahun yang lalu. Hhh.. aku heran, benar-benar heran padamu.”
Iris baru saja membuka mulut untuk menjawab argumen Elly—yang sebagian besar adalah fakta yang tak dapat diterima Irish—saat Prof. Miller memasuki kelas.
Prof. Miller adalah sosok klise dari seorang guru. Tua, membosankan, dan sama sekali tak menyenangkan. Tubuhnya kurus tinggi dengan tulang pipi yang menonjol dan dahinya lebar serta mengkilat, mengingatkan Irish pada kilap mobil sedan baru milik tetangganya yang setiap pagi selalu dipolesnya. Dan yang membuat penampilannya semakin parah adalah kacamatanya yang tampak bertengger janggal di hidungnya.
Dengan pandangan tajam dan misterius, ia memandang ke seluruh penjuru kelas dan mulai berjalan menuju mejanya. Ia membuka buku Sejarah-nya serta menyuruh setiap orang di dalam kelas untuk mengikuti instruksinya.
Tak perlu waktu lama hingga keadaan kelas menjadi sunyi senyap. Sebagian besar siswanya nyaris terkapar karena mengantuk. Hanya sedikit sekali yang memperhatikan, itupun, Irish yakin, mereka hanya memandangi Prof. Miller namun pikiran mereka melayang entah kemana.
Irish merasakan matanya memberat. Ia hampir tertidur, ditambah lagi dengan cuaca yang masih dingin. Ia melirik lagi arlojinya. Tinggal lima menit lagi dan segala penderitaannya hari itu akan lenyap.
Bel berbunyi tepat setelah Prof. Miller menyuruh para siswanya untuk mengumpulkan tugas. Keributan yang terjadi setelahnya begitu kontras dengan kesunyian yang terjadi baru beberapa menit yang lalu. Semua siswa bergegas meninggalkan ruangan itu dan menuju ruang kelas mata pelajaran selanjutnya.

Irish melangkahkan kakinya setelah meletakkan tasnya di kelas Prof. Flanery—guru mata pelajaran Kimia. Ia sedang tak bersemangat untuk pergi ke kantin dalam cuaca sedingin ini.
Kenapa salju masih turun, padahal seharusnya saat ini adalah awal musim semi? gerutunya dalam hati. Dia hampir memasuki perpustakaan ketika melihat sesosok orang yang amat dikenalnya—Alexander. Iris cepat-cepat berbalik dan bersembunyi di koridor terdekat.
Sial! Ngapain sih dia ke perpustakaan?!
Irish menjulurkan kepalanya agar dapat melihat ke arah perpustakaan. Tampak di sana Alexander berdiri bersandar di dinding. Tampaknya ia sedang menunggu seseorang.
Irish yang tak dapat menemukan kesempatan masuk perpustakaan tanpa terlihat oleh Alexander, akhirnya memutuskan kembali ke kelas lagi.
“Kok, balik lagi?” Maureen—siswi cantik yang selalu satu kelompok dengan Irish dalam percobaan Kimia—bertanya saat Irish menghempaskan diri di kursinya.
“Tidak apa. Aku hanya berubah pikiran saja!” jawab Irish sekenanya. Ia tersenyum untuk meyakinkan Maureen.

Bel pulang berbunyi. Hari yang melelahkan pun berlalu sudah. Banyak anak yang keluar dari kelas, mengeluh betapa banyaknya PR mereka hari itu. Irish pun tampak terburu-buru membereskan buku-bukunya dan mengenakan mantel di atas seragamnya. Ia ingin menghindari Alexander karena mungkin cowok itu sedang menunggunya digerbang—seperti yang selalu dilakukannya.
Dan benar saja. Di pintu utama gedung Irish dapat melihat Alexander yang—sama seperti diperpustakaan—berdiri bersandar di dinding, sambil sesekali menjawab sapaan teman-temannya yang mengucapkan “Bye!”
Aduh, apa sih yang ada dipikirannya? Melakukan hal yang tidak perlu seperti itu! Irish masih terus memandangi Alexander sambil terus berpikir, mencari cara untuk melewati pintu tanpa disadari oleh Alexander.
Baiklah! Aku tak punya banyak pilihan! ucap Irish dengan tekad kuat dan akhirnya berjalan perlahan menuju pintu utama gedung. Ia mulai membuka tasnya, berpura-pura sibuk mencari sesuatu sekedar supaya tidak melihat wajah Alexander saja.
Tapi tampaknya itu tidak berhasil.
“Irish!”
Alexander memanggilnya.
Sejenak Irish terpancang. Gerakannya terhenti seolah seseorang di luar sana menekan tombol pause dan memberhentikan waktu.
Irish memutuskan untuk tetap berjalan dan tak menghiraukan panggilan Alexander. Sikapnya menunjukkan seolah-olah tak pernah ada suara yang memanggilnya. Bahkan ia berharap bahwa suara panggilan tadi hanya halusinasinya saja.
“Tunggu! Aku perlu bicara denganmu!”
Tangan kekarnya merengkuh lengan Irish yang sedang sibuk merogoh ke dalam tas. Terpaksa Irish berhenti. Dan dengan satu sentakan ia melepaskan cengkraman Alexander pada lengannya.
Untuk pertama kalinya hari ini, Irish menatap tepat ke mata teduh Alexander. Dan hal itu terjadi lagi. Jantungnya bertalu-talu dengan amat menyakitkan. Ia bahkan hampir kehilangan keseimbangannya karena gemetar.
“Tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kau sudah meminta maaf dan aku sudah memaafkanmu. Urusan kita sudah selesai kan??” tandas Irish. Dan ia mulai berjalan lagi, kali ini lebih cepat.
Alexander mengikuti langkah Irish. “Tapi aku—“
“Urusan kita sudah selesai, ingat?” sela Irish tanpa memberikan kesempatan pada Alexander untuk melanjutkan kata-katanya. Irish kembali berjalan.
Dan Alexander tidak mengikutinya lagi.

***

“Aku pulang!”
Irish menutup pintu, bersandar sebentar dan menghela napas. Benar-benar hari yang menyebalkan, gerutunya dalam hati.
Tak berapa lama, seorang wanita muncul dari dalam rumah. “Kau sudah pulang? Lama sekali.”
“Yeah. Tadi aku berjalan cukup pelan untuk menghindari genangan air. Aku tak mau ambil resiko terpeleset, Mom.”
“Well. Kalau begitu, kenapa tasmu terbuka?”
Irish tertegun sejenak lalu memeriksa tasnya. “Mungkin tadi aku lupa menutupnya.” Jawab Irish, teringat peristiwa beberapa menit yang lalu. Ternyata ia memang lupa menutup kembali tasnya. Setelah mengecup pipi ibunya, ia menaiki tangga menuju kamarnya.
Kamar yang didominasi warna biru itu adalah tempat favorit Irish, setelah perpustakaan dan kantin sekolah, tentunya. Ia mulai meletakkan tasnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Ia memandangi langit-langit kamarnya. Kejadian-kejadian tadi berputar dalam otaknya.
“Alex..” gumamnya tanpa sadar.
Terbayang kembali kejadian paling memalukan dalam hidup Irish. Saat itu upacara hari pertama masuk sekolah. Mungkin seharusnya saat itu adalah hari yang paling menyenangkan, apalagi Irish terpilih menjadi perwakilan siswa kelas sepuluh dalam upacara peresmian itu. Tapi entah kenapa, hari itu berubah menjadi hari terburuk dalam sejarah kehidupannya. Saat berjalan menuju podium tempat Kepala Sekolah dan Dewan Orangtua Murid berada, Irish memilih untuk jatuh terjerembab. Bahkan bisa dibilang adegan jatuhnya itu cukup sukses untuk menjadi bahan tertawaan seisi sekolah. Saat itulah, Alexander keluar dari barisannya dan berlari menghampiri Irish untuk membantunya bangun. Jika saja saat itu Irish tidak merasa malu, mungkin ia akan mengucapkan terima kasih dan ia bisa berteman dengan Alexander, bukannya menampik tangan Alexander yang sedang membantunya bangun dan dengan pandangan paling bengis ia memperingatkan Alex agar tidak ikut campur, seperti yang telah dilakukannya saat itu.
Irish bangkit, menyesali masa-masa itu seraya mengambil tasnya dan mulai merogoh, mencari sesuatu. Setelah lama mencari, ia terbelalak dengan wajah pucat pasi.
“Oh, tidak!!”

***

Pagi ini, salju sudah berhenti namun udara tetap terasa menyengat kulit. Pagi yang cukup tenang, tapi tidak bagi Irish.
Ia berlari tergesa-gesa menuju kelas Trigonometri. Berharap ketika sampai ia akan menemukan orang yang sangat ingin ditemuinya.
“Oh! Thanks God!” serunya saat melihat Elly yang sedang duduk disalah satu kursi barisan tengah, sibuk menyisiri rambut ikal panjangnya. “Elly, please, kau harus menolongku!” ujar Irish panik sambil meletakkan tasnya asal-asalan.
“Ada apa, sih? Kau tampak cemas sekali.”
Belum sempat Irish menjawab, Prof. Edward—guru Trigonometri yang luar biasa cerdas—datang.
“Temui aku di atap pulang sekolah nanti!” ujar Irish sambil meninggalkan kelas. Ia pun bergegas menuju Lab. Komputer. Hari ini ia ada kelas komputer yang letaknya cukup jauh dari kelas Trigonometri.
Bagi Irish, waktu berjalan lama sekali, seolah seseorang melambatkan waktu dengan sengaja. Ia hanya memandangi komputernya tanpa tahu harus berbuat apa. Akhirnya waktunya hanya dihabiskan untuk memelototi arlojinya.
Nyaris saja Irish terjatuh ketika berlari menuju atap sekolah untuk menemui Elly. Namun ternyata ia lebih dulu sampai. Dan ia mulai menyesali mengapa ia tidak menunggu Elly di depan kelasnya saja. Irish mulai berjalan mondar-mandir, gelisah karena Elly tak kunjung datang. Dan ketika satu-satunya pintu yang ada disitu terbuka, Irish harus berusaha keras untuk tidak memekik. Elly muncul dari balik pintu, tertegun sejenak melihat Irish ada di sana dan sedang berlari menyongsongnya.
“Elly, dompetku hilang! Aku yakin jatuhnya di sekolah karena waktu aku pulang tasku terbuka dan—“
“Hei, tenang dulu! Ceritakan pelan-pelan!”
“Tak Bisa!! Ini penting dan ini—“
“Okey, okey. Perlahan-lahan. Jadi, dompetmu hilang?” tanya Elly tenang.
“Ya..” jawab Irish sambil mengangguk.
“Dan kemungkinan jatuhnya di sekolah?” tanya Elly lagi.
Irish mengangguk lebih cepat. “Aku yakin sekali!”
“Apa ada benda berharga di dalamnya?”
Butuh waktu cukup lama bagi Irish untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ada. Tapi kalau dibilang berharga rasanya terlalu berlebihan.
“Aku tak yakin, Elly.” jawab Irish akhirnya.
“Yah, kurasa akan ada yang menemukan dan mengembalikannya padamu dalam waktu dekat. Kau menyimpan Kartu Siswa-mu di sana kan?”
“Aduh, Elly, bukan itu!” sergah Irish. Wajahnya kini terlihat pucat.
“Lalu apa?”
“Di dompet itu ada—“ Irish menghentikan kalimatnya. Sejenak ragu, apakah ia akan memberitahu Elly atau tidak.
“Apa?” tukas Elly tak sabar.
“Ada... foto Alexander.”
Getar ketakutan mengalun dalam suara Irish. Ya, ia takut akan reaksi yang mungkin akan diperlihatkan Elly. Namun tiba-tiba, tanpa diduga sama sekali, Elly tertawa. Terbahak-bahak.
Irish tercengang, lalu memukul lengan sahabatnya itu. “Kenapa malah tertawa? Seharusnya kan kau membantuku?!”
“Hahaha.. maaf! Aku tak bermaksud begini, tapi.. hahaha.. ini lucu! Kau lucu sekali, Irish! Hahahaha..”
Elly terus melanjutkan tawanya, tanpa menyadari perubahan ekspresi di wajah Irish.
“Aku takut.” ujar Irish lirih, lebih seperti bisikan. “Aku takut kalau yang menemukan dompet itu—Alex!” serunya kemudian ketika melihat sosok yang telah lama membuatnya sangat menderita dengan semua debaran menyakitkan itu.
Elly menoleh mengikuti arah pandangan Irish. Di sana, di ambang pintu berdiri sosok Alex dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Kesunyian menyergap ketiganya.
“Ehm.. mungkin sebaiknya aku pulang duluan. Aku.. aku baru ingat ada urusan di rumah. Dan.. yah.. sampai jumpa besok.”
Elly pergi, meninggalkan Irish beserta segala kegalauannya, dan Alex dengan wajah tanpa ekspresinya. Keduanya saling pandang tanpa ada sepatah kata pun yang terucap.
“Jadi.. apa saja yang kau dengar?” tanya Irish dengan suara gentar. Matanya mulai memanas dalam cuaca yang dingin. Ia pun bertanya-tanya, sampai berapa lama ia bisa mempertahankan lututnya agar tidak goyah.
“Yah, cukup banyak.” Jawabnya singkat. Ia mulai bersandar di dinding—seperti yang biasa dilakukannya. Matanya terus menatap Irish. “Cukup banyak untuk tahu bahwa urusan kita belum selesai.”
Sejurus kemudian Alex mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah dompet berwarna putih.
Irish tercekat. “Itu... Dari mana kau mendapatkannya?” tanya Irish akhirnya.
Alex tak menjawab. Ia hanya menimang-nimang benda mungil itu dengan tatapan mata hampa.
“Kembalikan!” jerit Irish seketika, membuat Alex mendongak. “Kubilang, kembalikan!”
“Kau ingin aku mengembalikannya? Baiklah, tapi dengan satu syarat. Kau harus menjelaskan apa artinya ini?” Alex membuka dompet itu dan mengangkatnya setinggi dada, memperlihatkan foto dirinya sendiri dalam dompet tersebut.
Mata Irish membulat. Ia mulai gelisah. Inilah yang paling ditakutkannya. Alex tahu hal ini.
“Itu... karena aku...” ujar Irish terbata-bata, tak tahu lagi mesti berkata apa.
Hening cukup lama.
“Aku memungutnya kemarin, setelah kau pergi meninggalkanku begitu saja. Aku ingin memanggilmu, tapi kupikir percuma, karena kau hanya akan marah-marah padaku.” Kata Alex. “Sebenarnya aku berniat untuk mengembalikannya padamu hari ini.. sebelum aku melihat fotoku ada dalam dompetmu.”
“Lalu, kau mau apa dariku??”
Alex memandangi Irish cukup lama sebelum kemudian menjawab, “Kejelasan!”
Dada Irish sudah sakit sekali. Dan ia yakin sebentar lagi ia tidak akan sanggup lagi menahan keseimbangannya. Matanya memandang Alex.
“Baik. Akan kujelaskan. Aku suka padamu. Sejak dulu. Sejak saat kau membantuku saat aku terjatuh. Karena itulah fotomu bisa ada didompetku.” Irish dapat merasakan suaranya bergetar. “Nah, kau sudah mendapat kejelasan, sekarang aku ingin mendapatkan kembali dompetku.”
Irish mengulurkan tangannya yang gemetar. Matanya menatap wajah Alex yang tampak sangat terkejut. Terserah, batinnya, kau mau berpikiran apapun tentang aku, itu terserah padamu!
Tiba-tiba Alex tersenyum. Senyuman yang membuat dada Irish kembali berdenyut. Baru saja Irish berniat untuk berteriak, menanyakan apa maksud senyuman itu, tapi apa yang dilakukan Alex setelahnya membuat Irish mengurungkan niatnya.
Alex melemparkan benda persegi yang ditangkap dengan baik oleh Irish. Di pandanginya benda itu sebelum kemudian mendongak menatap Alex.
“Dompet?” tanya Irish tak mengerti. Pasalnya yang dilemparkan oleh Alex bukanlah dompet miliknya yang berwarna putih, tapi dompet lain berwarna hitam yang sama sekali tak dikenalnya.
“Bukalah.”
Kata-kata Alex bagai perintah yang tak terbantah bagi Irish. Ia membuka dompet itu dan spontan terkesiap.
“Ini...”
“Ya. Fotomu sudah ada di sana selama bertahun-tahun. Pertama kali aku melihatmu, saat ujian masuk. Kau begitu baik pada semua orang, bahkan pada orang yang tak kau kenal sekalipun. Hal itu sedikit banyak membuatku penasaran. Sungguh, mulai hari itu aku bertekad ingin berteman denganmu, tapi sepertinya kejadian hari itu mengubah segalanya.”
Ia berhenti untuk menarik napas. Irish tahu, ‘hari itu’ yang diucapkan Alex merujuk pada hari pertama masuk sekolah, hari dimana ia dengan berani keluar dari barisan hanya untuk menolong seorang gadis yang terjerembab dengan sangat memalukan.
“Okey, sekarang aku mengerti.” ujar Irish akhirnya. “Kau datang kesini hanya untuk menertawakanku, seperti yang dilakukan semua orang hari itu. Kau datang untuk melihat seorang gadis bodoh yang dengan ceroboh menjatuhkan dompetnya. Kau datang kesini hanya untuk bilang bahwa aku ini adalah gadis paling menyedihkan yang pernah ada. Dan kau datang kesini untuk mengatakan—“
“—bahwa aku suka padamu.”
Alex berjalan menuju tempat Irish berdiri terpaku dengan dompet hitam yang bergetar ditangannya. “Sepanjang tahun aku terus berusaha untuk mengatakan hal itu, tapi kau terus menghindariku. Aku tak tahu kenapa tapi aku benar-benar ingin berteman denganmu, bahkan aku ingin lebih dari itu.”
Alex telah berada dihadapan Irish, mengambil kembali dompetnya dan menjejalkan dompet berwarna putih yang sedari tadi dipegangnya ke dalam genggaman Irish. “Sebenarnya kemarin aku berniat untuk menyerah pada perasaanku karena tampaknya kau sama sekali tak mempedulikanku. Tapi itu sebelum aku melihat isi dompetmu. Aku benar-benar tak menyangka kalau ternyata... kau juga memiliki perasaan yang sama denganku.”
Irish dapat melihat Alex tersenyum tapi segera terhalang oleh airmata yang merebak di sudut matanya. Ia benar-benar tak bisa memutuskan harus senang atau sedih. Senang karena ternyata perasaannya selama ini tidak bertepuk sebelah tangan. Dan sedih karena sikapnya sangat menyebalkan kepada Alex selama ini.
Dan tampaknya Irish tak kuat lagi menahan lututnya, ia terjatuh, bersamaan dengan terjatuhnya buliran airmata yang tak terbendung lagi.
“Aku... aku minta maaf! Sikapku selama ini pasti sangat menyebalkan.” jelas Irish diantara isakannya. Aku hanya merasa marah, bukan marah padamu atau siapapun, tapi marah pada diriku sendiri! Aku marah karena aku tak bisa bersikap lebih baik, bahkan hanya untuk mengucapkan terima kasih padamu hari itu. Aku marah karena ternyata aku tak memiliki keberanian untuk meminta maaf padamu atas perlakuan kasarku hari itu. Dan aku merasa marah karena aku hanya membiarkan perasaanku padamu terpendam begitu saja, karena, seperti yang kubilang, aku tak memiliki keberanian!”
“Aku mengerti.” Alex menjawab sambil berlutut dan mengangkat wajah Irish. “Karena aku sayang padamu makanya aku mengerti.”
“Alex...”
Tak ada lagi kata-kata yang terpikirkan untuk diucapkan oleh Irish. Yang ia tahu hanyalah ia ingin memeluk Alex. Ia tak ingin melepaskannya. Ia ingin terus didekap oleh kasih sayang Alex.
Alex membantu Irish bangun, sama seperti yang ia lakukan hari itu, dan menghapus airmata dari pipi Irish.
Dan...
Irish menampik tangan Alex yang memegangi lengannya.
Alex terkejut bukan main, tapi ia lebih terkejut lagi karena detik berikutnya Irish menghambur ke dalam pelukannya.
“Aku sayang kamu, Alex.” bisik Irish.
“Ya, aku tahu.”

***

sumber gambar : di sini