Teng
... Teng ... Teng ...
Emina
mengangkat wajahnya dari aliran air keran. Air keran itu terasa sangat segar di hari yang terik
seperti hari ini. Dia mengeluarkan
sebuah handuk kecil dari sakunya dan mengeringkan wajahnya.
Sebagai siswi di akademi ini, Emina sangat mengenal bunyi tersebut.
Sambil
mengeringkan wajahnya, dia berjalan menuju kelas. Selanjutnya
adalah pelajaran matematika, pelajaran yang sangat disukainya.
Sejauh yang dia ingat, dia telah menyukai angka dan hitungan
bahkan saat teman sebayanya baru belajar cara menggores crayon
di buku gambar. Yah itupun kalau dia tak salah ingat.
Dia
baru saja hendak melangkahkan kakinya menuju tangga saat perhatiannya tertumbuk pada satu sosok
di ujung lorong yang berdiri bosan
bersama seorang lelaki tua yang berbicara serius padanya walau sepertinya dia tak memperhatikan
si lelaki tua itu sedikitpun. Emina
yakin anak laki-laki itu sebaya dengannya. Tapi yang membuat Emina berhenti melangkah adalah ketidak
pedulian anak itu pada lelaki
tua yang berbicara padanya. Lelaki itu adalah kepala akademi. Salah satu orang yang paling disegani
di akademi ini. Bahkan guru paling
galak pun tidak berani mengacuhkannya seperti itu.
Selain
sikapnya yang kurang ajar itu, penampilan anak itu juga aneh.
Tangan kirinya di perban dari pergelangan tangannya hingga ke balik lengan bajunya. Sorot matanya
sayu seakan berkata, “hidup ini
membosankan” mata itu seperti mata ikan mati. Ya, bahkan mata ikan mati tidak sekosong dia, Emina
yakin.
Emina
tidak ingat pernah melihat anak laki-laki itu sebelumnya.
Anak
baru? pikirnya. Sepertinya begitu, lihat saja sikapnya itu, siswa akademi tidak akan pernah
bersikap seperti itu. Emina penasaran
sekaligus geram.
Tiba-tiba
saja anak laki-laki itu menoleh ke arah Emina, seakan dia
tahu ada yang memata-matainya. Secepat kilat Emina bersembunyi
di balik dinding. Yakin tidak ada gunanya dia meneruskan
aktivitas mata-matanya, Emina berlalu menuju kelasnya.
“Oi,
Kau mendengarku tidak?” Suara Kepala Akademi terdengar meninggi
dari kejauhan.
“Tidak.”
Tidak?
Apakah anak laki-laki itu baru saja menjawab tidak pada kepala akademi?
Seberapa besar nyali anak itu? pikir Emina.
“Uugh,
jangan memperberat tugasku, yang penting, kau sudah tahu
tujuanmu berada di sini, kan? Jangan melakukan hal yang tak perlu!” Suara Kepala akademi mulai
terdengar sayup-sayup saat Emina
terus berjalan meniti tangga.
Emina
memasuki kelasnya dengan kepala penuh pertanyaan. Beruntung
pelajaran belum dimulai dan anak-anak masih ramai. Dia duduk
dikursinya, masih memikirkan anak laki-laki yang baru saja dia mata-matai.
“Hei,
ada apa? Pagi-pagi sudah cemberut.” Seseorang menepuk pundak
Emina. “Whoa ... jangan mengejutkanku seperti
itu Chi-chan,” Emina mengelus dadanya.
Jantungnya berdegup kencang.
“Hehe,
maaf, maaf. Hanya saja kenapa kamu terlihat serius sekali?
Jangan bilang kamu belum mengerjakan PR.” Gadis itu duduk di kursi didepan Emina.
“Tidak
... hanya saja aku ... ah, lupakan.”
“Hmmm?
Apa?” Gadis bernama Cirno itu semakin penasaran.
“Sudah
kubilang tidak apa-apakan? Ayo kembali ke tempat dudukmu,
sebentar lagi pelajaran dimulai.” Emina mencubit pipi Cirno.
“Aww,
aduh ... Itu sakit ...” Cirno mengusap pipinya. Tak
lama kemudian seorang wanita memasuki pintu kelas.
Cirno
segera berdiri, “Berdiri! Beri Hormat!”
“Selamat
Pagi bu.” Seisi kelas memberi hormat.
“Selamat
pagi, silakan duduk.” Guru wanita itu mengeluarkan sebuah
kacamata dari kotaknya dan mengenakannya. “Anak-anak, hari
ini kita mendapat teman baru, dia pindahan dari luar negri, silakan masuk.” Bu rifumin sedikit menoleh
ke arah pintu.
Seorang
anak laki-laki berjalan masuk. Anak itu lumayan tinggi, rambutnya
yang seperti matanya, berwarna hitam diikat ponytail. Emina terkejut melihat anak itu.
“Whaa
... KAU!” Tanpa sadar Emina berdiri dari tempat duduknya dan menunjuk anak laki-laki yang
berdiri kaku di depan kelas.
“Ada
apa Emi?” Bu Rifumin sedikit terkejut dengan kelakuan Emina. Wajah Emina memanas, dengan canggung
dia kembali duduk. Semua wajah dikelas
itu memandang ke arahnya. “Eh, tidak ... Tidak ada
apa-apa bu.”
“Baiklah
kalau begitu, Nura, silahkan perkenalkan dirimu.”
“Hmm
...” Anak laki-laki itu mengangguk malas dan berdiri tegap menghadap kelas. “Namaku Nura Sekimoto.”
pandangan sayu dari matanya masih seperti
yang diingat Emina.
Seisi
kelas diam, menunggu Nura melanjutkan perkenalannya.Hingga seorang gadis yang
duduk ditengah kelas mengacungkan tangannya. “Asalmu darimana? Bagaimana dengan
umurmu? Orang tuamu?” Gadis bernama Miu itu bertanya
tanpa ragu.
“Asal?
Umur? Entahlah ... aku lupa semua itu ... lalu, orang tuaku? Aku bahkan tak ingat punya hal seperti
itu.”
Cirno
juga ikut mengacungkan tangan, “Tanganmu kenapa? Apa
kau baru saja kecelakaan?”
“Tidak,
anggap saja ada bekas luka yang mengganggu, jadi kututupi.
Boleh aku duduk sekarang?” Ia menoleh ke arah bu Rifumin.
“Ah,
tentu saja, silakan duduk di tempat duduk kosong dibelakang
Miu,” guru wanita yang masih cantik itu menujuk ke arah gadis
yang pertama kali bertanya tadi. Nura
berjalan malas menuju tempat duduknya. Dia berjalan melewati
Emina yang masih menundukkan kepala di tempat duduknya.
Anak laki-laki itu memandanginya hingga dia mencapai tempat
duduknya. Bahkan setelah duduk di kursi kosong itu, Nura masih saja memandangi Emina.
“Baiklah,
anak-anak, keluarkan netbook kalian dan segera hubungkan dengan wifi kelas,
lalu kumpulkan tugas kalian. Untuk Nura-kun, kau tak perlu mengumpulkannya.”
“Baik
bu!” semua anak langsung sibuk dengan gadget kotak tipis
yang mereka keluarkan dari tas masing-masing.
“Buka
website yang kemarin, kita lanjutkan bahasan kita”
Waktupun
berjalan, daun demi daun dipepohonan sekolah berjatuhan.
Musim gugur ini, pelajaran terasa lebih lama dari pada musim
lainnya. Bau daun gugur yang menguar memenuhi lingkungan sekolah membuat siswa
AU akademi berjuang menahan kantuk mereka. Teman sekelas Emina kembali bergumul
dengan mata pelajaran yang memberatkan pelupuk mata mereka.
Teng
... Teng ... Teng ...
Semua
murid menghembuskan nafas lega, bagi mereka, saat ini tidak
ada suara yang dapat mengalahkan kemerduan suara bel itu. Mereka beringsut membereskan peralatan
mereka dan satu per satu mulai bergegas meninggalkan kelas. Ada yang ke kantin,
ada yang ke perpustakaan, dan tidak sedikit pula yang kembali ke asrama mereka.
Emina termasuk salah satu yang bergegas ke kantin. Namun ia hanya duduk di
sudut kantin memandangi makanannya yang nyaris
tak tersentuh.
“APA
ITU TADI!? Arrghhh!!! Ya ampun!! Aku malu pada diriku sendiri.”
dia menutupi wajahnya dengan telapak tangannya, wajahnya sangat panas.
“Sudah
... sudah ... kau sendiri juga, kenapa tiba-tiba berteriak seperti itu?” Cirno, yang duduk di hadapannya,
mengunyah roti sambil berusaha menahan tawa.
“Dia
adalah orang yang kulihat tadi pagi bersama kepala sekolah,
dan entah kenapa, dia nampak berbeda dengan yang lain.”
“Berbeda?
maksudmu?”
“Arrghhh!!
Aku tak mau membahasnya, aku benar-benar kesal!” Emina
menggigit makanannya dengan kesal. Seakan dia berharap bahwa
roti di tangannya itu adalah kepala anak laki-laki yang berhasil membuatnya kesal itu.
“Ahahahah!
Yasudah, tapi pelan-pelan makannya,” Cirno tersenyum
geli melihat tingkah sahabatnya itu.
“Hmmm
... hmmm” Gumam Emina sambil mengunyah makannannya.
“Hei,
itu Miu, kan? Hei Miu!” Cirno melambaikan tangannya ke arah
pintu masuk kantin. Orang yang memiliki nama pun menoleh dan tersenyum kecil ke
arah Cirno.
“Kau
bawa bekal, ya? Ayo! Makan di sini saja.” Cirno menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya.
“Eh?
Umm ... tapi aku sudah berjanji dengan temanku untuk makan
di tempat lain, maaf ya.”
“Oh,
yasudah kalo begitu, mungkin lain kali.” Cirno terlihat sedikit
kecewa, tapi dia tetap memperlihatkan senyum manisnya.
“Yap,
mungkin lain kali ... hihihi” Miu Tersenyum lebar. Tak lama kemudian gadis itu menghilang di balik
pintu kantin.
Emina
memandangi kepergian Miu, “Cirno ...” panggilnya.
“Ya?”
“Apakah
kau pernah melihat Miu makan dikantin?”
“Aku
tak begitu yakin, tapi aku memang tak pernah melihatnya ada
disini … begitu juga si Mutia, dia juga langsung menghilang segera setelah bel istirahat berbunyi.” Cirno
kembali mengunyah makanannya seolah tak
peduli.
“Kemana
ya, mereka.” Ucap Emina pelan.
“Entahlah,
hei, ayo cepat habiskan makananmu itu, sebentar lagi
waktu istirahat selesai.”
“Aah
... iya iya.”
Benar
saja, tak lama kemudian bel kembali berbunyi.
“Setelah
ini biologi ya?”
“Yap,
yaahh paling pak Hacchi tak datang lagi seperti biasanya, atau malah telat.” Cirno tersenyum
penuh semangat.
“Hihihi
... mungkin kita akan dapat jam kosong?” Emina ikut tersenyum,
membayangkan dua jam penuh tanpa kehadiran guru eksentrik itu di depan mereka.
“Mungkin
saja! Hahaha.”
Di
ujung lorong terlihat sekelompok siswa berjalan bersama. Di depan mereka
berjalan seorang gadis yang berjalan anggun. Mereka adalah
anggota OSIS akademi ini, dengan gadis anggun itu sebagai ketuanya. Fujha, ketua
OSIS yang merupakan siswa paling disegani di akademi ini. Emina yakin, mata sang ketua OSIS tertuju
kepadanya. Serentak Emina dan Cirno
menghentikan langkah mereka dan menanti anggota OSIS itu berjalan ke arah mereka.
“Kalian,
kelas 1-U kan?” Suara sang ketua OSIS memecah keheningan,
saat mereka telah berdiri di hadapan Emina dan Cirno. Suara
gadis itu terdengar penuh wibawa untuk anak seusianya.
“Iya,
kami dari kelas 1-U,” Emina menundukkan kepalanya, tak berani
memandang langsung pada gadis yang berbicara padanya.
“Kalau
aku tak salah, ada murid baru bernama Nura Sekimoto, kan? Kalian tahu di mana dia?” Suara Fujha
sedikit melembut melihat ketegangan
kedua gadis di depannya.
“
Sa ... Saat bel istirahat, dia masih berada di bangkunya mendengarkan musik ... mungkin saja,
dia masih disana.” Emina menjawab
terbata-bata.
“Tidak,
dia tak disana. Aku baru saja dari kelasmu, dan dia tidak ada di sana. Begini saja, saat kau
bertemu dengannya tolong suruh dia ke
ruang OSIS.“
“Oh,
tentu, akan kusampaikan padanya”
“Sampaikan?
Apakah yang kau maksud ‘mengantarkan’?”
“Maksudnya?”
Emina bingung kemana arah pembicaraan Fujha.
“Maksudku,
aku ingin kau mengantarkan anak baru itu ke ruang OSIS!”
“Eh?
Kenapa aku harus mengantarnya keruang OSIS?” Emina menatap
wajah gadis di depannya itu. Mengingat wajahnya saja sudah membuat Emina kesal,
apalagi harus mengantarkan Nura ke ruang OSIS.
“Dia
itu anak baru, aku yakin dia tak tahu di mana letak ruang OSIS.” Suara Fujha berubah sedikit
lebih tegas.
Emina
terdiam, ia tak mau memperpanjang argumennya. Karena ia
tahu, gadis yang berada di depannya ini, bukanlah orang yang tepat untuk diajak beradu argumen. Jabatan
ketua OSIS adalah salah satu bukti
jelas. Ia mengangguk. Gadis itu tersenyum kecil. Ia lalu menepuk pundak Emina dan berlalu.
“Pffttt...
Hahaha... yang sabar Emi!” Cirno yang beberapa saat lalu
masih berdiri kaku langsung meledak tawanya setelah suara langkah kaki sang ketua OSIS menghilang
di ujung lorong.
“Aaaaahhhhhhh!!!
Kenapa harus aku!?” Emina kesal bercampur panik.
Kenapa harus anak baru itu? Disuruh ke ruang OSIS sudah merupakan
hal buruk, ditambah dia harus kesana bersama anak baru yang
menjengkelkan itu.
“Hihihi
... sudahlah, terima saja takdirmu,” Cirno berusaha menahan
tawanya, agar tidak memenuhi lorong sekolah.
“Kenapa
aku harus mengantar orang itu!? Sudah matanya seperti
ikan mati! Mana kelakuannya sangat menjengkelkan lagi!” Emina
menendang lantai.
“Umm
… Emi?” Suara cirno berubah, tidak ada lagi tawa renyahnya. Tapi Emina terlalu kesal untuk menyadarinya.
“Sok
memakai perban, apa dia pikir seperti akan membuatnya keren!?”
“Emi?”
Cirno mulai sedikit panik.
“Bajunya
dikeluarkan sesuka hatinya! Bahkan kalau kau lihat baik-baik,
dia memakai anting kecil di telinga kanannya! Dasar berandal!”
“Siapa
yang berandal?” Sebuah suara terdengar dari belakang Emina.
“Murid
baru itu! Siapa tadi namanya? Umm ... ahh ... siapalah itu?”
“Nura
Sekimoto?” suara itu menjawab pertanyaan Emina. Cirno hanya
bisa memandangi Emina dengan sorot mata kasihan.
“Nah!
Dia!”
“Umm
... Emi?” Cirno berusaha sekali lagi.
“Ada
apa sih, Cirno? Dari tadi kau memanggilku terus!” ucap Emina tidak sabar, ia melihat Cirno menunjuk
ke arah belakang dirinya dan mengikuti arah yang
ditunjuk.
“Eh!?”
Emina hampir melompat dari tempat dia berdiri.
Ternyata
Nura sudah berada di sana sejak ketua OSIS meninggalkan
mereka. Dan ia mendengarkan semua celoteh Emina.
“Berandal,
hah? Baru pertama kalinya ada yang berani bilang itu
padaku.” Kata laki-laki itu dengan nada tidak peduli.
“Ah!
It-itu Cuma ... bercanda ... ahahahahha” Emina panik, dan mencoba tertawa, walau tawa yang keluar
lebih mirip tangisan.
“Bercanda?
Oh … aku baru tahu, ternyata ada cara bercanda yang
bisa menusuk hati, ya?” ucap Nura pelan.
“A
… Aku …” Emina tidak tahu harus berkata apa. Semua kata seolah hilang dari
pikirannya.
“Sudahlah~
ya ampun ... Nura-kun, maafkan lah Emi,
aku yakin dia tidak bermaksud begitu kok.” Cirno ikut
berbicara. Ia merasa iba melihat sahabatnya
panik seperti itu.
Nura
hanya diam menanggapi perkataan Cirno. Cirno menghela nafasnya.
“Emina,
apa kau lupa dengan apa yang dikatakan ketua OSIS tadi?”
Cirno kembali mengalihkan topik agar Nura tidak memperpanjang masalah.
“Ah!
Benar juga! Nura … -kun?”
“Nura
saja tak masalah.”
“Eh?
Umm, baiklah. Nura, kau ikut denganku keruang OSIS sekarang,
ayo!” Emina berjalan mendahului Nura.
“Hah?
Untuk apa aku datang kesana?” Nura jelas tidak senang dengan
hal ini.
“Entahlah,
tapi ketua OSIS mencarimu.”
“Ketua
OSIS?” Sorot mata Nura tiba-tiba jadi serius.
“Yap,
ayo!”
“Ah,
aku ke kelas duluan ya.” Cirno pergi meninggalkan mereka berdua.
“Ok.
Oi nura, ayo!” Emina memandangi nura. Murid pindahan itu
tidak bergerak sedikitpun dari tempat dia berdiri.
“Baik
... Baik.”
Kedua
siswa itu pun berjalan menuju ruang OSIS. Emina berada di
depan, sedangkan Nura di belakang mengikutinya sambil mengenakan
earphone. Sudah tiga menit mereka berjalan, namun sama sekali tidak ada percakapan antara mereka. Suasana
akademipun sepi, karena sudah waktu
sudah memasuki jam pelajaran.
Cang-Canggung,
katakan sesuatu, bodoh. Pikir Emina
Seakan
mendengar pikiran Emina, Nura berkata, “Ah, benar juga
… aku belum tahu siapa namamu.”
“Eh
!? Apa kau tak membaca namaku di atas mejaku?” Emina sedikit
panic. Dia tidak membaca pikiranku, kan? Pikirnya.
“Yaa
... aku melihatnya, tapi tulisannya terlalu kecil, well, aku bahkan tak tahu kalau itu sebuah tulisan” Nura
menjawab acuh tak acuh.
Ya
ampun, bilang saja kau bahkan tidak terlalu peduli untuk membacanya, pikir Emina jengkel.
“Namaku Emina Museirin.” Emina berusaha
menelan kekesalannya.
“Musei-“
“Ah!
Panggil saja Emina ... semua orang memanggilku seperti itu.”
jawab Emina Cepat.
“Bukannya
tidak sopan memanggil nama depan seseorang?”
“Kau
sendiri juga sama, kan!? Semua juga memanggilmu Nura.”
“Ahh
... benar juga, nama depanku itu Nura.” Gumamnya pelan.
“Hm?
Apa yang kau katakan?”
“Ah,
tidak ... tidak ada apa-apa.” Nura terdengar sedikit panik.
“Setelah
ini, kita akan belok ke kiri dan lurus, nanti kita sampai di ruang OSIS.” Emina menunjuk belokan
di depan mereka.
“Jauh
juga ya.” Nura menoleh ke belakang, memandangi jalan yang
sudah mereka lewati.
Emina
menoleh ke arah Nura dan mulai berjalan mundur. “Akademi
ini luasnya lebih dari 2500 Ha
, jadi jangan heran bila sedikit jauh”
Katanya.
“Uwaahh!
Besar juga.” Nura memandangi halaman akademi melewati
jendela.
“Hm?
Memangnya kau tidak diberitahu oleh kepala-“
Brukk
...
“Aduh
...” Emina merasa seperti menabrak sesuatu, dia
terjatuh, diiringi kertas-kertas yang ikut
berserakan di sekitarnya. Ternyata
Emina menubruk seorang laki-laki berbadan tinggi. Laki-laki itu memegangi setengah kertas
yang sebagiannya telah berserakan
karena tubrukan Emina. Dia memejamkan mata menahan
emosi. Emina secepat kilat berdiri dari lantai saat tahu siapa yang dia tubruk.
“A
... ak-aku, aku minta maaf! Satria-senpai! Aku tidak sengaja!”
Emina Menunduk panik, sekali lagi dia berurusan dengan orang
yang salah.
Satria
melepas kacamatanya, dan terlihat jelas pandangan dingin
dari matanya.
"Emi,
ini adalah tanggal 29 oktober, hari rabu, jam 1 siang, menit
34 ... kau tahu apa artinya? Kalau kau belum tahu, ini deadline untuk koran sekolah.” Katanya dingin.
“Ma
... Maafkan aku!” Emina semakin menunduk. Kata-kata Satria
yang tenang dan dingin terasa lebih menakutkan dari pada seandainya lelaki itu membentaknya.
“Lagi
pula, kau berjalan mundur seperti itu ... kau ini orang atau-“
“Hei,
sudahlah ... dia bilang tak sengaja, kan?” Nura memotong perkataan Satria.
“Hm?
Siapa kau?” Satria menoleh ke arah Nura. Jelas dia tidak
suka perkataannya dipotong seperti itu.
“Dia
Nura Sekimoto, murid baru di kelasku, ah! Dia tak ada kaitannya
dengan ini, jadi-“ Emina berusaha menengahi suasana yang
tidak enak antara dua laki-laki itu.
“Nura?
Ngomong-ngomong Emi, kau mau pergi kemana?” Raut
wajah lelaki itu langsung berubah saat mendengar nama Nura.
Dia
mulai memunguti kertas-kertasnya yang berserakan.
“Etto,
aku disuruh Fujha-san untuk mengantar Nura ke ruang OSIS”
Jawab Emina sambil ikut memunguti kertas di sekitarnya.
“Hoo,
begitu.” Satria bergumam dengan suara nyaris tak terdengar.
“Maaf,
ini.” Emina menyerahkan kertas-kertas yang dia pungut.
“Oh,
thank’s.” Satria mengambil kertas di tangan Emina.
“Kau
... tampak persis seperti dirinya.” Bisik
Satria.
“Hah?
Siapa?” Nura kaget mendengar perkataan Satria
“Entahlah,
aku lupa. Ah bukan, aku hanya tidak ingin mengingatnya.” Satriapun berlalu menuju
ruang klubnya.
“Ah,
iya. Emina, lain kali jangan berjalan mundur
seperti itu lagi.” katanya setelah
berjalan beberapa langkah.
“Ba-baik”
Emina membungkuk ke arah Satria.
“Cih
... siapa dia!? Sombong sekali.” Nura terlihat sangat kesal.
“Sudah
... Sudah ... dia bukannya sombong, tapi memang seperti itulah
Dia.” Emina mencoba menenangkan. Aku jadi takut bagaimana kalan Nura bertemu adik Satria-senpai?
Pikirnya.
Mereka
kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tak lama, terlihatlah
sebuah pintu ruangan yang berbeda dengan pintu lain. Sedikit
lebih besar dan terdapat sebuah ukiran yang kurang jelas. Emina membuka pintu tersebut.
“Permisi.”
Bisiknya. Rasa takut membuat suaranya nyaris tak terdengar.
Terlihat
Fujha, sang ketua OSIS tengah memeriksa beberapa berkas-berkas.
Tak ada orang lain disana. Bau ruangan yang cukup wangi dan
musik kecil yang berasal dari sebuah tape kecil membuat suasana
disana sangatlah tenang dan damai
“Ahh..
kalian, duduklah” Fujha melepas kacamatanya dan menunjuk
dua buah kursi didepan mejanya.
“Ba...
baik”
Ketua
OSIS itu mengambil 2 lembar berkas, dan membacanya sebentar.
“Nura
Sekimoto, usia 17 tahun, asal sekolah sma kazeichi, dan informasi
lainnya, kosong.” Fujha meletakan berkas ditangannya tersebut.
“Waw, aku cukup terkejut anak tak jelas sepertimu bisa diterima
masuk disini” lanjutnya memandang kearah Nura.
Pffftt..
Anak tak jelas. Emina berusaha menahan tawanya.
“Hah??
Apa kau punya masalah dengan kehadiranku diakademi ini?”
Jawab Nura ketus.
“Dan
bahkan.. kau direkomendasikan oleh kepala sekolah sendiri.
yah, aku tahu kau memiliki prestasi di olahraga, tertulis jelas disini. Tapi semua “sertifikat juara”
mu ini tak menyebut tahun pelaksanaannya,
bukankah itu mencurigakan?” Tanya Gadis itu lagi, tidak
memperdulikan jawaban Nura yang ketus. Dia hanya tersenyum
kecil.
“Kalau kau ingin
bukti, silahkan cari sendiri informasinya, kalau disuruh
untuk memberitahukan siapa penyelenggaranya, atau bahkan
menunjukan tempat penyelenggaraannya, akan kulakukan itu
untuk membuatmu senang”
“Hahaha..”
Fujha tertawa kecil. “Nah.. tidak perlu, aku
percaya.Cukup mudah untuk membuat laki-laki berkata yang sejujurnya.” Dia tersenyum puas.
“
Lalu, emi” Senyum diwajah cantik itu hilang kembali digantikan
keseriusan. Fujha menatap Emina yang sedari tadi diam saja.
“Y...Ya?”
“Kudengar
kau belum bergabung dengan satupun klub diakademi? siswa wajib mengikuti
kegiatan ekstrakulikuler/klub sekolah
yang telah diresmikan oleh 3 pimpinan. Masih ingat peraturan
yang satu itu?”
“Tentu
saja masih” Emina menunduk menghindari tatapan Fujha.
“Kalau
begitu, lekaslah tentukan pilihanmu.. atau kau ingin-”perkataannya terputus
“Ya?”
“Ah,
tidak, lupakan. Pokoknya kau harus menentukan klub yang
akan kau masuki secepat mungkin” Gadis itu memandang keluar
jendela. “Dan itu juga berlaku untukmu Nura. Mengingat kau adalah siswa akademi ini mulai hari
ini.”
“Apa?
Aku juga?” Nura ingin membantah lebih lanjut, tapi tatapan
Fujha membungkamnya.
“Baiklah,
cukup sekian yang ingin kubicarakan. Kalian boleh pergi.
Kalian masih ada kelaskan? Aku tidak mau menahan kalian lebih
lama.”
“Kalau
begitu, kami permisi dulu.” Emina bangkit dan berjalan menuju
pintu diikuti Nura.
Baam.
Emina
menutup pintu rang OSIS itu dengan lega. Dia senang alasan
ketua OSIS memanggilnya bukan karena hal hal yang buruk.
“Huh,klub
ya? Klub apa yang akan kau pilih? “Emina memandang
Nura yang berjalan disampingnya.
“He?
Kau tanya aku!? Aku saja tak tahu ada berapa klub disini!”
“Benar
juga ya, mungkin lebih baik kita kembali kekelas dulu. Semoga
pak Hachi benar tidak masuk hari ini.”
“Ah
tentang itu, kau duluan saja, ada yang harus aku kerjakan dulu”
“Oh,
yasudah, tapi jangan lama-lama ya, siapa tahu pak Hachi cuma
terlambat atau apa” Emina berlalu menuju kelasnya.
Nura
hanya mengangguk kearah kepergian Emina. Setelah sosok
gadis itu hilang dari pandangan, Nura berjalan menuju sebuah ruangan yang berada di lorong yang
berseberangan dengan ruang OSIS.
Dia mengetuk pintu itu pelan.
“Oi,
ini aku” Bisiknya
“Hoo,
nura, kau kah itu? Ada apa?” Sebuah suara
terdengar dari balik pintu. Tapi pintu itu masih
saja tertutup.
“Sepertinya
nanti sepulang sekolah aku tak bisa ‘kesana’”
“Hah?
Kenapa?” Jelas si pemilik suara tidak mengharapkan hal itu.
“
Ketua osis itu menyuruhku untuk berkeliling akademi “
“Dia
ya? Yasudah, lakukan saja seperti yang ia katakan. kita tak boleh mengacaukan rencana, dan gadis
osis itu, adalah orang yang bias merusak
rencana. Kalau bisa, jauhi dia!” Suara itu terdengar sedikit takut.
“Baik,
aku mengerti”
Tak
ada suara lagi yang terdengar dari balik pintu itu. Nura terdiam, melihat tangan kirinya yang
terbalut perban. Aku harus hati-hati pikirnya.
Setelah
kelas terakhir selesai, Emina menceritakan semua yang terjadi
diruang OSIS pada Cirno. Dengan senyum menjengkelkan, Cirno
balik duluan ke asrama. Emina
menunggu Nura keluar di depan pintu kelas.
“Sekarang,
bagaimana kita menentukan klub ya?” kata Emina saat
mereka berdua berjalan menuju halaman sekolah.
“Aku
ingin klub yang tak terlalu dikenal, ada tidak?”
“Ahh..
mengenai itu, lihat ini.” Emina mengarahkan layar ponselnya
ke wajah Nura.
“Hmm?”
Nura membaca sekilas yang tertulis di layar posel itu.
“Apa
maksudnya ini?” tanyanya.
“Ketua
osis tadi mengirimiku e-mail, dan dia hanya memperbolehkan
kita masuk diklub yang ia pilihkan.”
“Hah!?
Dia memilihkan untuk kita!? Bukankah itu sama saja dia mengambil
hak kita untuk memilih klub?”
“Tidak
juga sih, soalnya klub yang masih buka pendaftaran di waktu
seperti sekarang tinggal beberapa, jadi dari awal memang pilihan kita terbatas.”
“Kau bercanda, kan? Lalu, bisa kau sebutkan
klub apa saja itu?” Nura memegangi
kepalanya frustasi.
“Ah
sebentar, aku belum melihat klub mana saja. Dia mengatakan
akan mengirim daftarnya segera setelah bel pula- “
Tring..
Ponsel ditangannya berbunyi
“
Oh! Ini
dia.” Emina membaca E-Mail tersebut perlahan keningnya
berkerut.
“Oi,
jadinya bagaimana? Klub apa saja?”
“Ummm...”
Emina kembali menunjukkan layar ponselnya ke wajah
Nura.
Emi,
silahkan datang ke ruang klub koran untuk melihat daftar selanjutnya. Sekian. Fujha.
“Sialan,
apa-apan maksudnya ini?” Nura makin kesal.
“Aku
yakin dia sengaja melakukan ini agar kau mau berkeliling, karena aku yakin, dia bisa menebak kalu
kau diberi daftar lengkap klubnya
kau pasti akan memilih satu klub secara random.” Jawab Emina
dengan wajah datar.
Nura
hanya diam. Tapi dari raut wajahnya jelas dia benar-benar jengkel.
Tak
lama mereka berdua telah berada di depan ruang klub koran.
“Permisi”
Emina megetuk pintu itu 2 kali, dan membukanya dengan
pelan.
Terdapat
5 orang didalam ruang itu. mereka tengah bekerja. Satria
yang tak lain adalah ketua klub segera berjalan kearah Emina. Nura langsung memasang postur tegang
saat melihat wajah Satria.
“Ada
apa, emi?” tanya Satria datar.
“Ke-ketua
OSIS menyuruh kami kesini untu-“
“Ah,
aku sudah tahu” Satria memotong perkataan Emina cepat.
“Kalau
begitu-“ Emina menghela napas, mengumpulkan segenap
keberaniannya.
“Selanjutnya
klub musik, sudah itu saja. Kalian boleh pergi”
“Eh!?
Kau belum menjelaskan apapun tentang klub Koran senpai.”
Emina bingung
“Emi,
kau sudah 1 tahun berada disini. Apa perlu ku ulangi lagi penjelasan tentang kub koran? Aku yakin
dengan pasti kau masih
ingat
dengan setiap kata yang kuucap pada hari penerimaan siswa dulu, kecuali kau tidur saat aku
berbicara penjang lebar.”
“Ti,
Tidak mungkin aku tertidur, aku masih ingat kok”
“Kalau
begitu, urusan kalian disini sudah selesai, aku lagi sibuk” Satria mendorong mereka berdua keluar
dan menutup pintu.
“Kenapa
dia itu sangat menyebalkan!! Selalu, selalu dan selalu!!”
Omel Nura saat mereka berjalan menuju ruang musik.
“Sudahlah,
bukankah bagus, dia membuat pekerjaan kita lebih mudah”
lagipula, aku memang lebih baik menghidar darinya, piker Emina.
“Lalu,
ruang klub musik itu.. dimana?”
“Klub
musik itu di-“ sebuah pikiran menghentikan kata-kata Emina.
Tunggu dulu!! Klub musik!? Itu berarti adiknya Satria-senpai... Gawat
ini benar-benar gawat.
“Oi,
Ada apa?”
“Tidak,tidak..
Tidak ada apa-apa..” Kumohon Nura, jangan sampai
kau membiarkan emosimu keluar nanti. Emina berdoa dalam hati.
Saat
menuruni tangga, Emina melihat teman sekelasnya, Miu tengah
menempelkan sebuah kertas di mading. Segera banyak siswa yang membaca kertas itu.
“Miu!”
Panggil Emina sambil melambaikan tangan.
“Oh!
Emi! “ Gadis itu berjalan kearah Emina dan Nura. Dia dengan
mudah menyelip diantara kerumunan siswa.
“Ah
itu, klubku akan mengadakan mini show besok malam minggu.
Datang ya”
“Benar
juga, Miu juga dari klub musik ya. Aku sampai lupa. Apa kau
mau kembali keruang klubmu?” Secercah harapan terlintas dimata
Emina.
“Begitulah,
aku sudah selesai dengan pekerjaanku. Jadi aku mau
kembali keruang klub.”
“Kebetulan,
kami juga mau kesana”
“Dengan
dia?” Miu memandang kearah Nura dengan tatapan penuh
arti.
“Apa?”
Tanya Nura ketus.
“Tidak,
tidak apa-apa. kalau begitu, ayo!” Miu tersenyum kearah
dua teman kelasnya itu.
“Kalian
tahu tidak? Disebelah kanan ruang musik nanti, akan ada
aula yang cukup besar, biasanya kami mengadakan show disana kalau didalam akademi.” Suara Miu
memecah keheningan. Semacam kebanggan
terdengar dibalik kata-katanya.
“Klub
besar mendapat fasilitas besar juga ya” Gumam Emina lebih
kepada dirinya sendiri.
“Yaa..
memang terdengar tak menyenangkan sih, tapi memang seperti
itulah sistemnya” Nada bicara Miu berubah defensif.
Tak
sampai 10 menit mereka berjalan, mereka sampai didepan sebuah
pintu yang tergolong besar untuk ruang akademi. Miu dengan
santai membuka pintu itu dan melangkah masuk.
“Aku
kembali”
“Ahh..
selamat datang” Seorang siswa laki-laki menjawab tanpa menoleh
kearah suara. Kelihatannya dia sedang sibuk mengerjakan sesuatu.
Itu
dia, pikir Emina. Kemcemasannya semakin meningkat. Dia melirik
Nura yang berdiri disebelahnya. Laki-laki itu memandangi seluruh penjuru ruangan kecil itu tanpa
minat. Semoga tidak terjadi apa-apa, semoga
tidak terjadi apa-apa Emina berdoa lagi.
“Kelihatannya,
show besok akan dilihat banyak siswa.” Miu berjalan
mendekati lelaki itu.
“Oooh..”
Lelaki itu menyahut masih sibuk dengan pekerjaannya.
“Anoo..
Permisi” Emina mencoba menarik perhatian lelaki itu.
“Miu,
ada yang datang” Sahutnya masih tanpa menoleh.
“Tidak,
mereka sudah sejak tadi disana” Miu tersenyum kecil.
“Oey!
Kalau ada yang bicara, setidaknya tataplah orangnya!” Nura
yang sedari tadi menahan dirinya membentak.
Lelaki
itu meletakkan benda yang dipegangnya sejak tadi. Ternyata
sedari tadi dia sibuk mengelap gitarnya. Dia menolehkearah ketiga anak itu.
“Uwaaahh!
Ketua klub koran tadi!” Nura mundur beberapa langkah
saking kagetnya.
“Bukan!
Mereka hanya kembar.. dia Airtas-senpai, dia adik kembar
dari Satria-senpai” Emina mencoba menenangkan Nura.
Tanpa
aba-aba, Airtas berdiri sangat cepat. Dangan langkah pelan
dia berjalan ke hadapan Nura. Dia menatap Nura dalam jarak sangat
dekat.“Bicaralah, aku tengah menatapmu” Katanya dingin, tidak kalah dingin dibanding kata-kata kakaknya.
“A..Anoo..
Airtas-senpai, ka.. kami-“ Emina berusaha agar tidak terjadi
pertumpahan darah disini, Dihadapannya, oke itu terdengar sedikit berlebihan. Tapi tetap saja
Emina tidak ingin melihat pertengkaran
dihadapnnya.
“
Oh, emi, kah? Ada apa? Ahh… maaf, sebelum itu, siapa orang brengsek nan sialan dibelakangmu ini?
Ahh.. maafkan aku lagi, siapa orang
berwajah sialan, brengsek, dan menyedihkan itu?” Airtas menatap
Nura denga tatapan tajam.
“Hey..”
Nura berusaha sekuat tenaga agar tidak memukul Airtas,
tangannya terkepal kencang.
“Itu...Itu...
Ketua osis yang menyuruh kami kesini” Emina berusaha
menarik perhatian Airtas lagi dari Nura.
“Fujha?”
Airtas mengangkat sebelah alisnya.
“Ya”
Jawab Emina sedikit terlalu bersemangat. Dia lega perhatian
Airtas telah teralihkan dari Nura.
“Oohh..
Tentang klub apalah itu ya?”
“iya,
tentang klub” jawab Emina.
Klub
apalah itu? apakah lelaki ini bahkan peduli dengan hal ini? pikir Emina.
“Hei,
Miu. Tolong jelaskan pada mereka.. aku mau kedalam dulu.”
Airtas berlalu tanpa menunggu jawaban dari Miu.
“Eehh!?
Aku!? Kenapa tak kau saja? Kau kan wakil ketua klub.” Protes
Miu saat Airtas hampir memasuki pintu ruangan di sebelah kiri ruangan musik.
“Aku
mau saja.. Tapi karena ada seonggok manusia itu didekatku,
aku jadi mual” Airtas menjawab acuh tak acuh.”
“Hoy!!
Bila kau tak teri-“ Nura hendak mengejar Airtas yang telah
menghilang dibalik pintu, sebelum Emina menahan tanganya.
“Dan
juga kau mirip Dia”
suara Airtas terdengar dari balik pintu.
“Huh?
Kembaranmu tadi juga mengatakan hal yang sama, sebenarnya
siapa yang kalian maksud !?” Nura semakin jengkel.
“Ntahlah,
aku sudah lupa” suara Airtas terdengar makin jauh.
“Baiklah,
sepertinya kalian adalah tanggung jawabku” kata Miu sambil
tersenyum. Miu membimbing mereka keruangan yag
dimasuki Airtas sebelumnya. Ternyata
dibalik pintu itu adalah Aula yang diceritakan
Miu
saat meraka berjalan menuju ruang musik tadi. Di dalam ruangan
itu ramai anak-anak anggota klub musik mempersiapkan diri
mereka sebelum pentas.
“Didalam
ruangan klub ada aula sebesar ini?” Emina memandangi
setiap sudut Aula itu dengan mata takjub.
“Ohh,
anggap saja ruangan tadi itu adalah ruang tamunya. Dan yang disini adalah isi rumahnya” Miu kembali
tersenyum bangga.
“Besar
juga ya” gumam Emina. Dia mereka-reka berapa orang kapasitas
aula besar ini.
“Oh,
langsung saja pada intinya. kalian sudah tahu kan klub musik
ini, tidak beda jauh dari klub musik biasa, tapi yang pasti klub musik ini adalah klub terbesar di
akademi kita ini. dan juga- hey, kau yang
disana? Apa kau mendengarku?” Miu mengarahkan jari telunjuknya
yang lentik ke arah Nura.
“Oh..
apa ?” nura sedikit tergagap. Dia daritadi menatap tajam Airtas yang nampak
melanjutkan pekerjaannya tadi di sofa tak jauh dari tempatnya berdiri.
Miu
menarik nafas dalam sebelum melanjutkan, “selanjutnya adalah
klub basket.. setelah itu klub pemanah, klub pecinta alam, dan yang terakhir klub pertolongan
pertama” dia menghitung dengan
jarinya.
“Eh!?
Kau sudah tahu semuanya!?”
“Tentu
saja Emi, aku memberitahumu hanya agar dia tak bertemu
dengan orang lain.” Dia kembali menunjuk Nura.
“Perilakunya
itu, hanya akan membuat jengkel orang lain”
“Hah!?
Aku!?” Nura menunjuk dirinya dengan sorot mata bingung.
“Yaa,
mungkin kau benar juga.” Emina menggangguk setuju.
“Apa?”
tahu dia tidak bisa berbuat banyak, Nura hanya menutup
mulutnya kembali.
“Ahh..
mungkin aku memang tak pantas disini, benar-benar menjengkelkan
sekali orang-orangnya.” Dia berjalan meninggalkan dua
gadis itu dibelakangnya.
“Eh!?
Nura-“ Emina bingung apa yang terjadi. Apakah bercandanya
sudah keterlaluan ?
“Bahkan..
yang “sejenis” denganku saja tak menerimaku” Nura kembali
bergumam diantara langkah kakinya.
“Eh?”
Nura
pergi melewati pintu ruang musik. Emina masih berdiri mematung
ditempatnya. Berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
Apa yang dimaksudnya dengan sejenis? Mungkinkah..?
“Umm..
miu, aku ingin-“
“Mengejarnya,
kan? Kejarlah. Bagaimanapun, dia adalah salah satu
teman sekelas kita” Miu tersenyum lembut.
Emina
mengangguk. Lalu ia berlari kearah Nura pergi tadi.
Melihat
Emina sudah tak terlihat, Miu mengambil ponselnya. Sebuah
suara langsung mengangkat panggilan miu di dering pertama.
“jadi?”
“Positive.
Dialah orang itu.” jawab Miu sedikit berbisik.
“Kalau
begitu, suruh 2 orang itu untuk mengikutinya.” Suara diseberang telpon itu
memerintah dengan suara datar.
“Baik,
akan segera kuhubung-“
“Tak
perlu, aku sudah menghubungi mereka” Entah dari mana dan
sejak kapan, Airtas telah berada dibelakang Miu.
“Eh?”
Miu tidak berusaha menyembunyikan keterkejutannya.
“Kerja
bagus. Nanti malam, kita berkumpul.” Si suara datar kembali
berbicara dari ponsel Miu.
“Siap”
Miu dan Airtas menjawab serentak. Emina
melihat pintu keatap sekolah terbuka. Ia menaiki tangga satu
demi satu. Terlihat Nura tengah bersandar ditembok sambil melihati langit biru.
“Kau
disini ya?” Emina berjalan mendekat.
“Hmm?
Ohh.. Tempat ini menenangkan.” Jawab Nura tenang.
“Pada
akhirnya, semua klub yang direkomendasikan adalah klub
populer, ya? Emina bersandar pada dinding disebelah Nura.
Nura
tidak berkata apa-apa, dia terus memandangi langit diatas sana.
Emina
melirik Nura yang tak menjawab. Ia lalu melihat Nura dengan
pandangan serius. Emina memberanikan
diri menanyakan pertanyaan yang dari tadi
mengganggunya.
“Nura,
kau tadi bilang.. bahwa kita ini sejenis, kan? Apa maksu-!!”Nura tiba-tiba menarik
tangan Emina sampai Emina terlihat tengah
memeluknya. Ia lalu menyibak rambut belakang Emina. Ia lalu tersenyum karena melihat sebuah tanda
disana. Emina yang masih shock
tiba-tiba mendorong Nura kebelakang dan segera menutupi tanda
itu dengan tangannya.
“A-Ap-Apa..
Apa yang kau lakukan!?” emina mundur menjauh dengan
wajah panik. Wajahnya memerah, dan terasa panas sekali.
“Enak
sekali ya kau.. Dibuat oleh perusahaan terkenal di kota ini,
kalau boleh jujur, aku iri.” Mata Nura terlihat menerawang.
“Ja-jangan
seenaknya melihat tanda android orang lai- eh? Tunggu
dulu! Kalau kau tahu aku ini android, maka.. kau ini..” Emina mulai mengerti maksud perkataan nura
tadi.
“Ya,
aku juga” Jawab Nura. Saat itu juga mata kiri
lelaki itu perlahan berubah menjadi ungu.
Terdapat semacam tanda dimata itu.
“Tandamu
dimata.. itu berarti.. Kau adalah android
tempur!?” Emina sedikit kaget bercampur kagum.
“Dulu”
Nura memejamkan mata kirinya. “Sekarang tidak” Dia membukanya
kembali. Warna matanya kembali normal.
“Siapa..
yang membuatmu?” Emina diselimuti rasa penasaran.
“Aku
diaktifkan oleh perusahaan dinegeri timur sana” Emina
tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar itu. Dia terkejut bukan main.
“Ya,
aku adalah salah satu android yang membuat perang disana.
Aku telah membunuh banyak manusia. Melakukan misi pembunuhan
para mentri. Dan berbagai macam hal lainnya.” Nura menghembuskan
nafas panjang.
“Eh?!”
Emina menutup mulutnya dengan tangan.
“Menyedihkan,
ya? Aku yang dulunya seorang pembunuh, harus
berakhir diakademi bodoh ini. Dan juga.. Aku
harus menuruti kata-kata ‘manusia
itu’”
“Manusia
itu?”
“Hal
ini sangat membuatku jijik saat harus berpikir bahwa tuanku
sekarang adalah seorang manusia, pernah terpikirkan olehku, ‘lebih baik aku terlindas tank pada
saat itu, atau terkena tembakan virus
A-rex, atau hal lainnya’.. yang penting, aku tak perlu hidup sampai sekara- !!”
PLAKKK
!!
!!!...
Kepala Nura tersentak kebelakang akibat
kerasnya tamparan yang mendarat diwajah.
“JANGAN
MENGATAKAN HAL BODOH SEMACAM ITU!!” Emina berdiri
dihadapan Nura yang meringis dengan mata berapi-api.
Nura
melihat sebulir air mata mulai menetes dari mata gadis dihadapannya
itu. Dia bisa menangis? Pikirnya kaget.
“Kau
harus menghargai hidupmu! Hidup kita ini ABADI, kan!?” Emina
meraih kerah baju Nura dengan kasar.
“Kita
dibuat oleh manusia, dirakit oleh manusia, dengan tujuan apa? Untuk membantu pekerjaan mereka!
Itu adalah hal yang harus kita
bayar sebagai ganti membuat kita hidup!” Emina menunduk memukul-mukul
dada Nura.
“
Bahkan.. Bahkan android yang dibuat untuk tujuan burukpun, seharusnya tahu
itu!! Bila kau malah ingin mati,
itu sama saja kau tak menghargai pembuatmu!” Lanjutnya dengan air mata membasahi wajahnya.
“Ma-maaf.”
Nura tidak tahu harus berbuat apa.
“Dulu,
aku memiliki teman.. dia seorang profesor, dia sangat mencintai
semua android buatannya.. dia pernah bilang padaku, ‘menyenangkan
sekali ya menjadi android, kalian bisa melihat dunia indah
ini selamanya’..” Suara Emina makin merendah hinga nyaris tak terdengar diantara isak tangisnya.
“1
minggu setelah itu.. dia terbunuh.. bahkan aku yang bukan android buatannya pun tahu, betapa
sedihnya para android buatan profesor
itu saat mengetahui pembuatnya meninggal.. dan aku yakin, bila ada manusia yang melihat android
buatannya mati, dia juga pasti akan
sedih.” Emina mundur beberapa langkah. Berusaha menghapus airmata diwajahnya.
Nura
terdiam. Pandangannya terlihat sedikit terkejut. Tiba-tiba Nura berdiri dan
membungkuk 90 derajat kearah Emina.
“Maafkan
aku.. Aku benar-benar minta maaf.. Dan
juga, aku mohon.. Berhentilah
menangis.” Katanya menenangkan.
“Entah
mengapa, saat melihatmu menangis.. Aku
merasa tak tahan melihatnya.” Sambungnya.
Emina
tidak menjawab dia terus berusaha meredam isak tangisnya.
Dan menghapus aliran air mata di pipinya.
“Atau,
lebih baik Kalau aku pergi dulu?” Nura berdiri tegak, dan berjalan menuju
pintu masuk dari atap.
Emina
sendiri masih berada disana. Ia bersandar lalu duduk. Melihat keatas, dimana langit biru tengah
cerahnya.
“Bagaimana
keadaanmu disurga sana? Profesor?” Bisiknya.
Sementara
itu, disisi tembok yang lain. Terlihat 2 orang yang duduk
bersandar. Mereka tengah memakan roti. Ditelinga mereka, nampak sebuah earphone terpasang
Kedua
anak itu menempelkan kedua telapak tangan masing masing dan
berkata, “Terima kasih atas makanannya.”
Mereka
lalu melepas earphone mereka. Salah
satu dari mereka menarik kabel panjang kecil
berwarna putih yang nyaris tak terlihat itu. Tak lama, nampak sebuah benda
kotak kecil diujung kabel. Salah satu orang itu mengambil
benda itu, dan melepas memory card nya. Ia lalu mengambil
ponselnya, dan mengirim e-mail pada beberapa orang.
My
room. 10 P.M Tonight.
“Yosh,
ayo pergi” Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya.
“Yap.
Pekerjaan disini sudah selesai.” Temannya itu tersenyum kecil