Sore itu langit cerah, cukup cerah sehingga danau yg berada di sisi
utara akademi AU memantulkan langit sore dengan indah. Shin termenung,
dia duduk sendirian d tepi balkon yang menghadap ke danau. Pikirannya
tidak disana. Ia merindukan suasana di klannya pada musim seperti ini.
Bunga sakura di depan kamarnya pasti berbunga seperti yang ia lihat saat
ini disamping danau. Tanpa sadar ia mendesah. Kenangan itu berubah,
saat ini bunga sakura selalu membawa ingatannya ke masa 10 tahun lalu.
Dan itu sama sekali bukan kenangan yang menyenangkan. Pada malam itu dia
hanya bisa terdiam, shock, menyaksikan seluruh klannya dibantai, termasuk ibunya, pimpinan utama klan N4.
"Um
… kenapa kau melamun disini, Shin … sensei?" terdengar suara yang akrab
ditelinganya. Shin terkejut, jantung nya serasa berdegup satu kali
lebih kencang. Suara itu. Shin berbalik.
Sinar mentari sore
menyinari sosok tegap Gamorsa, yang jauh lebih tinggi dari Shin. Rambut
yang agak gondrong terlihat acak-acakan, dan menutupi sebagian wajahnya
namun Shin tetap dapat melihat sorot tajam mata Gamorsa. Sorot mata yang
selalu menusuk bagian terdalam di hati Shin setiap kali dia melihat
Gamorsa. Shin segera mengalihkan pandangannya, seolah tampilan danau
sore itu jauh lebih menarik daripada sosok Gamorsa yang sering singgah
di hatinya itu.
"Tidak apa, hanya saja … aku teringat sesuatu."
ucap Shin pelan. Sensei, dia hanya menganggapku guru. Tidak lebih. Shin
kembali menghela nafasnya. "Pisauku masih kau pegang kah?"
Sejenak air muka Gamorsa berubah, "Masih Shin-san … Aku menyimpannya dengan baik, itu masih milikmu."
"Kau menyimpannya?" tapi hanya pisauku, kan, pikir Shin tanpa terucap.
Gamorsa diam saja.
"Kau
tahu, itu sebenarnya pisau ibuku. Dan diturunkan turun-temurun kepada
pemimpin klan. Aku senang kau tetap menyimpannya. Hanya saja, rasanya
berat saja. Perasaan bersalah itu. Dan sayangnya aku tidak bisa
menggunakannya saat aku benar-benar membutuhkannya." pikiran Shin
kembali menerawang pada saat pembantaian klannya. Shin, yang saat itu
berusia 10 tahun hanya dapat terdiam di bawah kotatsu, menyaksikan
seluruh klannya dibantai. Bukannya Shin tidak ingin melakukan apa-apa.
Tetapi pergerakan tubuhkan seolah dikunci oleh tatapan ibunya yang
tengah disiksa. Ibunya tidak berteriak, tidak terlihat takut, dia hanya
menatap Shin lekat-lekat di tempat persembunyian anaknya itu. Satu
kalimat terakhir yang terekam di ingatan Shin, "Live Shin, putriku, Live!"
Tanpa
Shin ketahui, lengan kekar Gamorsa memeluk Shin dari belakang. Reflek
Shin mencoba melepaskan diri, aku terlalu membuka diri, pikirnya.
"Kumohon
Shin! Kumohon, untuk beberapa saat izinkan tetap seperti ini!", ucap
Gamorsa di telinga Shin, sambil mengeratkan pelukannya.
Shin
berhenti berusaha melepaskan diri. Namun dadanya semakin sesak. Sesak
karena tiba-tiba dia sangat merindukan klannya, merindukan ibu dan
ayahnya. Dan sesak karena dipeluk oleh Gamorsa. Karena dia Gamorsa. Shin
tidak pernah sedekat ini dengannya.
"Ke-kenapa?"
"Ja-jangan
tanya kenapa!" ucap Gamorsa gugup. Shin tidak bisa melihat wajah
Gamorsa, tetapi ia yakin wajah Gamorsa saat ini pasti merah. Andai
Gamorsa tahu, dan Shin khawatir Gamorsa dapat merasakan degupan
jantungnya yang seolah ingin keluar dari tempatnya itu. Kenapa harus
Gamorsa, lagi-lagi Shin mendesahkan nafasnya.
Shin tidak dapat
lagi menahan rasa di dadanya. Semuanya bercampur aduk. Kenangan orang
tuanya, klannya, dan perasaannya pada Gamorsa. Shin akhirnya mengakuinya
walau dalam hati. Ia menyukai Gamorsa, namun ia tahu hal itu tidak akan
pernah terjadi. Hal itu membuatnya pedih. Shin lebih tua dari Gamorsa,
dan Shin adalah seorang pria. Tanpa sadar ia menyandarkan kepalanya di
dada bidang Gamorsa.
Shin, semua orang mengetahui kalau dia adalah
perempuan dan Shin pun terbiasa dengan semua atribut perempuan yang
sudah 20 tahun ini melekat pada dirinya. Dia adalah satu-satunya
survivor dari klan N4, setelah klannya dibantai habis oleh 6 klan
lainnya 10 tahun silam. Tetapi tidak ada yang mengetahui kalau
sebenarnya Shin adalah seorang laki-laki. Badannya yang ramping dengan
kulit halus dan rambut panjang nya sangat membantunya menyembunyikan
jati dirinya. Well, bukan keinginan Shin untuk menjadi seorang Crossdresser.
Klannya,
klan N4, selalu mengutamakan keturunan perempuan. Ibunya adalah penerus
klan sebelumnya. Klan ini percaya bahwa kekuatan dan kelicikan dapat
dibungkus dengan baik oleh kecantikan dan kelembutan, sehingga anak
perempuan lah yang harus menjadi penerus klan. Si penerus ini diajari
teknik-teknik penaklukan, cara-cara pembunuhan, dan teknis menghancurkan
lainnya. Tetapi diajari juga untuk menari, merias diri, memainkan alat
musik, bahkan membunuh dengan memperdaya korban dengan kecantikan
mereka. Dan pada saat Shin lahir, bayi yang nantinya akan menjadi
penerus klan lahir dengan jenis kelamin laki-laki, kedua orangtuanya
sepakat untuk menutupi hal ini dari semua anggota klan dan
membesarkannya sebagai anak perempuan.
Shin diajari memanah,
menggunakan pisau, beladiri, senjata, dan semua keahlian pembunuhan
layaknya laki-laki. Tetapi juga diajari menari, merias diri, bahkan
merayu laki-laki. Rambutnya yang halus dibiarkan panjang, dan
sehari-harinya shin dibiasakan untuk menggunakan kimono perempuan.
Ibunya memang keras mendidiknya. Tetapi hal itu tidak membuatnya kesal,
karena Shin menghormati adat yang berjalan di klannya.
Semua hal
berjalan baik-baik saja sampai Shin berusia 10 tahun, tidak ada yang
mengetahui kalau dia adalah laki-laki. Tidak juga pelayan yang setiap
hari mengikutinya. Ibunya selalu mendampinginya.
Tetapi semua itu
berakhir pada saat klannya dibantai 10 tahun silam. Shin yang ketiduran
di dalam kotatsu hanya dapat terdiam melihat ibunya dibantai. Dia
bukannya tidak ingin melakukan apa-apa, tetapi dia mengerti tatapan mata
ibunya saat ibunya disiksa. Ibunya ingin dia diam, dan tidak keluar
dari tempat persembunyiannya. Dan berulang kali mulut ibunya mengucapkan
kata "Live Shin, putriku, Live!". Ibunya ingin dia tetap menjadi perempuan.
Rengkuhan Gamorsa menyadarkan Shin dari lamunannya. Perlahan Shin melepaskan dirinya.
"Thanks
Gamorsa, kurasa aku harus pergi!" ucapnya seraya mulai berjalan
meninggalkan menuju pintu oak besar. Gamorsa tidak mengucapkan apapun.
Entah apa yang ada dipikirannya.