A story about
love, friend and sacrific
Sherry Agista
Titik air
seolah tak berhenti tercurah dari awan yang kelabu. Sejak tadi pagi, hujan
terus mengguyur kampus SMK Negeri yang ada di Buitenzorg, membuat lapangannya
basah dan siswanya bergerombol kedinginan di koridor disamping lapangan
upacara, sebelum kembali ke kelas masing-masing untuk mendapatkan udara yang
sedikit lebih hangat.
Ibu Joana, Wakasek Kesiswaan
sudah ketar-ketir dari tadi. Kerudungnya yang selalu modis dan ditempeli bros
mawar sebesar gelas melambai-lambai saat ia bolak-balik dari ruang operator dan
lapangan hanya untuk mengecek apakah hujan sudah berhenti. Rencananya memang
pagi ini dia akan menyerahkan piala lomba mengarang cerpen se-Provinsi kepada
Kepala Sekolah. Entah mengapa Bu Joana selalu senang—dan bangga—apabila ia
berbicara di atas podium. Tetapi pagi ini turun hujan dan sedikit banyak
membuat rasa bangganya itu kempis.
Semua tingkah Ibu Joana
terlihat jelas oleh Lintang dan itu membuatnya tertawa sendiri. Dasar guru
‘riweuh’, batinnya. Well bagi Lintang yang berada di depan Perpustakaan balkon
lantai dua gedung C, dia memang bisa mengawasi seluruh aktifitas yang terjadi
di samping lapangan upacar di Senin pagi yang basah ini. Yah kecuali sisi yang
berada tepat di bawahnya.
Ia melihat jam tangan yang
melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tujuh kurang lima belas. Dia pun
berbalik dan melangkah menuju kelasnya. Jas almamaternya yang berwarna biru
dirapatkannya untuk menghalau hawa dingin yang dibawa oleh semilir angin.
Kelas dua Akuntansi satu baru
separuhnya terisi saat Lintang masuk ke kelasnya itu. Di ujung dekat meja guru,
seorang gadis melambai padanya. Lintang tersenyum dan berjalan ke arahnya.
“Pagi Lintang,” sapanya.
“Pagi Ayu, baru lo doang, mana
yang lain?” Tanya Lintang seraya meletakkan tasnya di meja di belakang Ayu.
Lalu ia berhigh five dengan Ayu.
“Eka lagi ke kamar mandi … eh
… tuh dia!” ujar Ayu seraya menunjuk kedatangan seorang gadis berkulit putih
dan berambut panjang.
“Hai … Lin,”
“Hai…” jawab Lintang. “Terus
Putri mana?”
“Putri … tadi sih di kantin!”
“Sama Putra ya?!” seloroh Ayu.
Eka mengangguk.
Degg. “Putra? Oh…” Lintang
merasa suasana hatinya langsung berubah. Yah wajar saja … batin Lintang.
“Sempet-sempetnya Senin pagi kayak gini pacaran.” Lintang berusaha agar
suaranya terdengar wajar. “Bukannya upacara.”
“Lintang?! Hujan kayak gini
upacara?? Yang bener aja!” Ayu mendelik padanya.
“Mending pake pacaran. Empat
puluh menit … lumayan!” timpal Eka, dari balik bedak dan kacanya. Lintang
angkat bahu.
“Kali aja mau berpayung ria.
Udah gitu yang pidato si babe lagi!” kedua temannya bergidik ngeri. “Tapi
ngomong-ngomong mereka … serasi ya…” ucap Lintang, keluar lagi kebiasannya
menggantung kalimat seraya mulai melamun.
“Siapa?” Ayu menoleh padanya.
“…Yah… Putri dan … Putra…”
“He’eh. Putri dan Putra,
mereka cocok banget!”
Lintang hanya tersenyum lemah
seraya membuka-buka buku catatan matematikanya. Walaupun sebenarnya tak perlu.
Ia cukup ahli di pelajaran yang satu ini. Ia melakukan itu hanya untuk mengusir
sesak yang tiba-tiba datang menyergapnya. Namun toh ia tak bisa konsentrasi.
Matanya malah menatap nanar di satu titik. Ia melamun lagi. Kebiasaan favorit
yang tak disadarinya. Ingatannya kembali ke tiga hari yang lalu. Di pagi yang basah
dan dingin seperti ini …
“Hai Guys…!!” teriak Putri.
“Gw seneng banget!”
Serentak Lintang, Ayu dan Eka
menoleh ke pintu kantin dimana Putri berdiri. Kantin mendadak sepi dan semua
mata terarah pada Putri. Tetapi dengan PD-nya yang gede, ia berjalan menuju
meja Lintang dkk dan bergabung disana. Kantin pun kembali ramai.
“Put,nyadar dong! Ini kantin
tau!” tegur Eka sementara Ayu menoleh pada Lintang lalu menggariskan
telunjuknya di dahi.
“Bodo… abis gw seneng banget!”
“Emang lo kenapa sih, girang
banget … gak mungkin kan kalo nilai akew lo sepuluh?” goda Ayu yang tawanya
langsung meledak melihat cemberut menghias wajah Putri. Akew adalah sebutan anak akuntansi untuk mata pelajaran Akuntansi Keuangan, mata pelajaran yang konon untuk mendapatkan nilai 8 saja susah payah.
“Nggak mungkin banget!” ucap
Putri getir. “Gw seneng coz pagi ini gw dan nyatain perasaan gw dan …”
“Ha?! Perasaan?” ulang Ayu, Eka
dan Lintang bersamaan.
“Oh … gw belum cerita ya …
sebenernya selama ini gw ngefans ma kakak kelas! And tadi pagi … gw bilang
tentang perasaan gw ke dia dan dia juga ternyata sama!” ucap Putri semangat.
Pipinya yang sawo matang tampak kemerahan.
“Hah … wah … lo seneng dong,
udah punya cowok!” goda Eka sembari mencubit kedua pipi Putri.
“Hehehe … gitu deh!”
“Enak ya … udah pada punya
cowok!” gumam Lintang pahit.
“Kamu kapan?” Tanya Putri acuh
tak acuh.
“Tau deh … nunggu Prince of
Dream gw bangun dulu!” bayangannya melayang pada sosok ‘hensem’ dan ‘kiyut’ di
kelas tiga sekretaris satu. “Ngomong-ngomong siapa cowok itu?”
“Dia … anak 3 SK 1!” jawab
Putri enteng.
Hah … jangan-jangan … aku
mohon jangan terulang lagi, pinta Lintang dalam hati. Rasa dingin merambati
punggungnya sementara wajahnya mulai memucat. “Si-siapa dia?”
“Dia … kak Putra!” sambung
Putri.
Pandangan Lintang serasa
berputar-putar. Wajah teman-temannya berkelebatan di pelupuk matanya. Lalu
redup, gelap dan gelap. Nafasnya memburu sementara lututnya terasa goyah dan
BRUK …
Tawa Putri yang renyah
menghempaskan Lintang ke dunia nyata. Gadis yang menggunakan kacamata hanya pada saat belajar dikelas itu duduk di sebelahnya. Lintang tersenyum saat melihat
sahabatnya, Ayu, Eka dan Putri tertawa.
Ups … sahabat? Masih pantaskah mereka disebut sahabat? Setelah tiga orang
‘sahabat’ tadi mengambil semua Prince of Dream miliknya? Setelah Eka cuek
padanya tanpa Lintang tahu apa penyebabnya? RALAT!!
Lintang menggeleng kuat-kuat.
Tapi bagaimanapun mereka
sahabatku, pikir Lintang. Yah … walaupun mereka semua jadian dengan orang yang
Lintang kagumi. Dendam? Ada sih … tapi … Lintang menggeleng dan berucap tidak. TIDAK.
TENG … TENG … TENG …
Lintang merapikan posisi
duduknya sementara teman-teman sekelasnya berlarian menuju kursi masing-masing.
Bel pada hari ini benar-benar tidak diharapkan. Senin ini mereka belajar tiga pelajaran killer. Akuntansi keuangan, akuntansi
perbankan dan matematika.
Pelajaran pertama, akuntansi
keuangan yang lebih dikenal dengan nama Akew, dapat dilalui dengan damai
walaupun suasana kelas seperti belajar dibawah malaikat maut. Tegang banget.
Pada saat guru itu meminta salah seorang maju untuk mengerjakan soal 3b,
jangankan mengacungkan tangan, malah tak ada sepotong tangan pun yang
tergeletak di atas meja. Akhirnya sebagai tumbal Lintang dipanggil maju untuk
mengerjakan soal 3b tadi yang ternyata jawabannya panjang minta ampun. Satu
board habis dikuasainya sendiri, walaupun ia sudah meminimize tulisannya. Itu pun masih ditambahi ceramah-ceramah guru
berkacamata pipih itu yang seolah-olah selalu mencari-cari kesalahan Lintang setelah sebelumnya mengawasi dengan tampang garang di balik mejanya.
Lalu maju ke pelajaran kedua,
akuntansi perbankan alias Abank yang lumayan seru. Guru yang berkumis tebal itu
asyik dan bisa membawa suasana sehingga pelajaran hafalan yang panjangnya wuih
… terasa ringan. Lintang lagi-lagi maju ditemani rivalnya yang setia dalam hal
pelajaran. Tania. Lintang mengerjakan soal £100.5.- ( - ) £10.100.100. Lumayan
‘enak’ untuk bekal makan siang.
Dan akhirnya, pelajaran yang
ditunggu-tunggu Lintang. Matematika. Kali ini membahas bab peluang dan semua
siswa terbius walaupun dengan alasan yang berbeda. Sebagian ngantuk, sebagian
gak ngerti alias tuing-tuing dan sebagian lagi kesemsem oleh gurunya. Yup. Guru
magang itu memang masih muda. Cowok kiyut dan berkacamata yang baru berusia dua
puluh tahun tetapi sudah menamatkan S1-nya.
Mungkin hanya Lintang and the
gank, yang tidak terpengaruh. Lintang memang maniak matematika, so siapapun
gurunya, baginya sama saja. Ketiga temannya, gak terlalu minat pada matematika. Lagipula
mereka sedang asyik ngegosipin cowok masing-masing.
Hal yang menyebalkan, pikir
Lintang, melirik mereka dari balik buku paket matematikanya yang tebal.
Guru muda itu mengendarkan
pandangannya ke seluruh kelas. Sepertinya tak ada tanda kehidupan di kelas ini,
pikirnya. “Ada pertanyaan?” tanyanya dengan suara naik satu oktaf.
Seperti tersengat listrik,
banyak kepala mendongak kaget dan hampir bersamaan pula kepala-kepala itu
menggeleng dalam diam. Memang sih, jangankan bertanya, apa yang mau ditanyain
aja gak ngerti. Tapi Lintang melihat tangan Tania diangkat tinggi-tinggi.
“Mau apa dia?” gumam Lintang
malas.
“Pak, dalam pelemparan uang
logam kenapa tidak muncul peluang (A1,G1) atau (A2,G2)?”
tanyanya nyaring.
Guru magang yang lengkapnya
bernama Sullivan Prakusya itu tersenyum. “Ada yang bisa bantu Miss...?” ia
menoleh pada Tania.
“Tania!” sahut Tania pendek.
Hening. Hampir semua
mengerutkan keningnya dan lagi-lagi tak ada tangan di atas meja. Setelah
beberapa saat, Lintang mengangkat tangannya. Ia sudah bosan diam-diaman terus.
“Yup. Miss Lintang!”
Lintang berdiri karena Pak
Sull mengisyaratkan agar dia berdiri. “Menurut saya ... dalam pelemparan dua
uang logam, mustahil (A1,G1) atau (A2,G2)
akan muncul!” ucapnya tegas.
“Lho kok begitu. Dalam
prakteknya kan bisa saja ada!” protes Tania.
“Ok. Begini ... kita kan
memakai dua uang logam. Berarti titik sampelnya A1, G1, A2,
dan G2. benar?!” Tania mengangguk. “Bukankah A1 dan G1
itu terdapat dalam satu uang logam?! Logikanya mungkin nggak dalam satu uang
logam dan dalam satu kali pelemparan, muncul angka dan gambar secara
bersamaan?” tanya Lintang diplomatis mengakhiri penjelasannya.
Pak Sull lagi-lagi tersenyum,
“Bagus sekali Miss Lintang!” pujinya saat Lintang duduk kembali. “Memang
jawabannya seperti itu. Tidak akan mungkin muncul kecuali posisinya berdiri.
Dan kau pun tahu sendiri, jarang sekali uang hasil pelemparan muncul dalam
posisi berdiri. Dalam hal ini peluangnya nol. Ok ... ada pertanyaan lain? ... baiklah ...
kalau tidak ... selamat siang!” ucapnya seraya melangkah keluar. Bisik dan
gumam lega menjalar di antara siswa kelas 2 Ak 1.
“Eh ... “ ucapnya tiba-tiba
seraya menghentikan langkahnya, murid-murid memandangnya heran. Seketika kelas
menjadi hening kembali.
“Ehm ... buat Lintang, pulang
sekolah tolong menghadap saya!”
“hah ... eh ... i-iya Pak,”
jawab Lintang dan guru itu pun benar-benar pergi. Gumaman-gumaman tak jelas
kembali berdengung di kelas 2 Ak 1.
“Cieee ... Lintang ... wah ada
apa-apanya nih ...” goda Ayu.
“Bisa juga lo ngecengin guru,
Lin. Tapi gak apa-apa ci, kalo gak salah denger Pak Sullivan kan baru dua puluh
tahun!”
Semua mata memandang kaget
pada Eka.
“Yang bener,” Putri
memicingkan matanya.
“Bener lagi. Liat aja wajahnya
yang ‘kiyut’ itu ... gak ada tampang mutu ‘kan?”
“Mutu? Apaan tuh?” Ayu
menatapnya heran.
“Mutu itu muka tua!” ucap Eka
tak sabar seraya menyampirkan tas ke bahunya.
“Oooo...” Ayu menganggukkan
kepalanya. “Well Lintang, gak bisa pulang bareng donk?!”
Lintang yang dari tadi hanya
mendengarkan saja tersenyum, “Mau gimana lagi ... sorry ... paling gw ntar
disuruh beresin apa gitu. Kayak Bu Dewi. Gw dipanggil and gak taunya disuruh
beresin Ruang Self Acces!”
Lagipula sebenarnya ia agak
malas pulang bareng teman-temannya. Mereka sudah berpasangan semua, masa ia
dijadiin penonton tunggal untuk tiga pasangan berbeda?
Eka ke kantin dulu untuk
menemui Indra, cowok kelas 3 Pj 2 itu sering berjaga di kantin hijau, stand
makanan milik rumpun penjualan. Ayu biasanya langsung ke gerbang, Satya sudah
stand-by di sana. Sedangkan Putri, sudah dua hari ini sering ke warnet dulu,
Putra hobinya surfing di internet. Tinggal Lintang pulang sendiri. Setidaknya
sejak tiga hari yang lalu.
“Ok ... semuanya, gw ke ruang
guru dulu. Kalian duluan aja!” kata Lintang seraya melangkah ke luar. Ia
melangkah pelan menuju ruang guru, membayangkan apa yang akan dihadapinya dari
Pak Sullivan. Beberapa temannya yang berbeda kelas menyapanya dan sempat ada
obrolan kecil dengannya.
“Permisi, Pak,” sapa Lintang
saat ia tiba di meja guru magang yang letaknya kebetulan dekat dengan pintu.
Jadi ia tidak usah repot-repot masuk ke ruang guru yang siang itu lumayan ramai.
“Ada apa Bapak memanggil saya?” sambungnya.
“Oh ... Lintang ya ... saya
bisa minta tolong sebentar?” ucapannya terpotong kedatangan seseorang.
Seseorang yang membuat Lintang sesaat menahan nafasnya, “Ah ... Satya, saya
juga mau minta tolong sama kamu, kalian ada waktu kan?”
Lintang setengah berharap
Satya mengatakan tidak tetapi harapan itu kandas saat Satya mengangguk. Lintang
tak berani menatap Satya ataupun Sullivan, entah kenapa.
“Tolong bantu saya mengoreksi
soal ulangan, Bu Ika sakit jadi beliau meminta saya untuk mengoreksinya tetapi
beliau juga meminta agar hasilnya bisa ditempel besok ...”
“Maaf ... jadi kami mengoreksi
soal kelas tiga, Pak?” potong Lintang yang langsung merasa tak sopan sendiri
saat Satya perlahan menginjak kakinya.
“Iya ... kamu nanti koreksi
soal ulangan kelas 2 Pj,” ucap Sullivan melihat sorot protes di mata Lintang,
“kita bisa gunakan kelas kosong ‘kan?”
Tanpa bisa membantah lagi,
Lintang melangkah gotai mengikuti Satya dan Sullivan dengan membawa setumpuk
kertas ulangan yang harus dikoreksinya menuju salah satu kelas di gedung B.
Ayolah, ambil sisi positifnya
Lintang, setidaknya kamu jadi bisa bertemu dengan Satya. Batinnya menghibur
diri sendiri namun justru ia kecewa sendiri dengan hiburannya tadi saat sadar
kalau Satya adalah pacar dari ‘sahabatnya’ sendiri.
(bersambung)