Selasa, 03 Juni 2014

Lintang


A story about love, friend and sacrific 
Sherry Agista
 
Titik air seolah tak berhenti tercurah dari awan yang kelabu. Sejak tadi pagi, hujan terus mengguyur kampus SMK Negeri yang ada di Buitenzorg, membuat lapangannya basah dan siswanya bergerombol kedinginan di koridor disamping lapangan upacara, sebelum kembali ke kelas masing-masing untuk mendapatkan udara yang sedikit lebih hangat.

Ibu Joana, Wakasek Kesiswaan sudah ketar-ketir dari tadi. Kerudungnya yang selalu modis dan ditempeli bros mawar sebesar gelas melambai-lambai saat ia bolak-balik dari ruang operator dan lapangan hanya untuk mengecek apakah hujan sudah berhenti. Rencananya memang pagi ini dia akan menyerahkan piala lomba mengarang cerpen se-Provinsi kepada Kepala Sekolah. Entah mengapa Bu Joana selalu senang—dan bangga—apabila ia berbicara di atas podium. Tetapi pagi ini turun hujan dan sedikit banyak membuat rasa bangganya itu kempis.

Semua tingkah Ibu Joana terlihat jelas oleh Lintang dan itu membuatnya tertawa sendiri. Dasar guru ‘riweuh’, batinnya. Well bagi Lintang yang berada di depan Perpustakaan balkon lantai dua gedung C, dia memang bisa mengawasi seluruh aktifitas yang terjadi di samping lapangan upacar di Senin pagi yang basah ini. Yah kecuali sisi yang berada tepat di bawahnya.

Ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Tujuh kurang lima belas. Dia pun berbalik dan melangkah menuju kelasnya. Jas almamaternya yang berwarna biru dirapatkannya untuk menghalau hawa dingin yang dibawa oleh semilir angin.

Kelas dua Akuntansi satu baru separuhnya terisi saat Lintang masuk ke kelasnya itu. Di ujung dekat meja guru, seorang gadis melambai padanya. Lintang tersenyum dan berjalan ke arahnya.

“Pagi Lintang,” sapanya.

“Pagi Ayu, baru lo doang, mana yang lain?” Tanya Lintang seraya meletakkan tasnya di meja di belakang Ayu. Lalu ia berhigh five dengan Ayu.

“Eka lagi ke kamar mandi … eh … tuh dia!” ujar Ayu seraya menunjuk kedatangan seorang gadis berkulit putih dan berambut panjang.

“Hai … Lin,”

“Hai…” jawab Lintang. “Terus Putri mana?”

“Putri … tadi sih di kantin!”

“Sama Putra ya?!” seloroh Ayu. Eka mengangguk.

Degg. “Putra? Oh…” Lintang merasa suasana hatinya langsung berubah. Yah wajar saja … batin Lintang. “Sempet-sempetnya Senin pagi kayak gini pacaran.” Lintang berusaha agar suaranya terdengar wajar. “Bukannya upacara.”

“Lintang?! Hujan kayak gini upacara?? Yang bener aja!” Ayu mendelik padanya.

“Mending pake pacaran. Empat puluh menit … lumayan!” timpal Eka, dari balik bedak dan kacanya. Lintang angkat bahu.

“Kali aja mau berpayung ria. Udah gitu yang pidato si babe lagi!” kedua temannya bergidik ngeri. “Tapi ngomong-ngomong mereka … serasi ya…” ucap Lintang, keluar lagi kebiasannya menggantung kalimat seraya mulai melamun.

“Siapa?” Ayu menoleh padanya.

“…Yah… Putri dan … Putra…”

“He’eh. Putri dan Putra, mereka cocok banget!”

Lintang hanya tersenyum lemah seraya membuka-buka buku catatan matematikanya. Walaupun sebenarnya tak perlu. Ia cukup ahli di pelajaran yang satu ini. Ia melakukan itu hanya untuk mengusir sesak yang tiba-tiba datang menyergapnya. Namun toh ia tak bisa konsentrasi. Matanya malah menatap nanar di satu titik. Ia melamun lagi. Kebiasaan favorit yang tak disadarinya. Ingatannya kembali ke tiga hari yang lalu. Di pagi yang basah dan dingin seperti ini …

“Hai Guys…!!” teriak Putri. “Gw seneng banget!”

Serentak Lintang, Ayu dan Eka menoleh ke pintu kantin dimana Putri berdiri. Kantin mendadak sepi dan semua mata terarah pada Putri. Tetapi dengan PD-nya yang gede, ia berjalan menuju meja Lintang dkk dan bergabung disana. Kantin pun kembali ramai.

“Put,nyadar dong! Ini kantin tau!” tegur Eka sementara Ayu menoleh pada Lintang lalu menggariskan telunjuknya di dahi.

“Bodo… abis gw seneng banget!”

“Emang lo kenapa sih, girang banget … gak mungkin kan kalo nilai akew lo sepuluh?” goda Ayu yang tawanya langsung meledak melihat cemberut menghias wajah Putri. Akew adalah sebutan anak akuntansi untuk mata pelajaran Akuntansi Keuangan, mata pelajaran yang konon untuk mendapatkan nilai 8 saja susah payah.

“Nggak mungkin banget!” ucap Putri getir. “Gw seneng coz pagi ini gw dan nyatain perasaan gw dan …”

“Ha?! Perasaan?” ulang Ayu, Eka dan Lintang bersamaan.

“Oh … gw belum cerita ya … sebenernya selama ini gw ngefans ma kakak kelas! And tadi pagi … gw bilang tentang perasaan gw ke dia dan dia juga ternyata sama!” ucap Putri semangat. Pipinya yang sawo matang tampak kemerahan.

“Hah … wah … lo seneng dong, udah punya cowok!” goda Eka sembari mencubit kedua pipi Putri.

“Hehehe … gitu deh!”

“Enak ya … udah pada punya cowok!” gumam Lintang pahit.

“Kamu kapan?” Tanya Putri acuh tak acuh.

“Tau deh … nunggu Prince of Dream gw bangun dulu!” bayangannya melayang pada sosok ‘hensem’ dan ‘kiyut’ di kelas tiga sekretaris satu. “Ngomong-ngomong siapa cowok itu?”

“Dia … anak 3 SK 1!” jawab Putri enteng.

Hah … jangan-jangan … aku mohon jangan terulang lagi, pinta Lintang dalam hati. Rasa dingin merambati punggungnya sementara wajahnya mulai memucat. “Si-siapa dia?”

“Dia … kak Putra!” sambung Putri.

Pandangan Lintang serasa berputar-putar. Wajah teman-temannya berkelebatan di pelupuk matanya. Lalu redup, gelap dan gelap. Nafasnya memburu sementara lututnya terasa goyah dan BRUK …



Tawa Putri yang renyah menghempaskan Lintang ke dunia nyata. Gadis yang menggunakan kacamata hanya pada saat belajar dikelas itu duduk di sebelahnya. Lintang tersenyum saat melihat sahabatnya, Ayu, Eka dan Putri tertawa.

Ups … sahabat? Masih pantaskah mereka disebut sahabat? Setelah tiga orang ‘sahabat’ tadi mengambil semua Prince of Dream miliknya? Setelah Eka cuek padanya tanpa Lintang tahu apa penyebabnya? RALAT!!

Lintang menggeleng kuat-kuat.

Tapi bagaimanapun mereka sahabatku, pikir Lintang. Yah … walaupun mereka semua jadian dengan orang yang Lintang kagumi. Dendam? Ada sih … tapi … Lintang menggeleng dan berucap tidak. TIDAK.

TENG … TENG … TENG …

Lintang merapikan posisi duduknya sementara teman-teman sekelasnya berlarian menuju kursi masing-masing. Bel pada hari ini benar-benar tidak diharapkan. Senin ini mereka belajar tiga pelajaran killer. Akuntansi keuangan, akuntansi perbankan dan matematika.

Pelajaran pertama, akuntansi keuangan yang lebih dikenal dengan nama Akew, dapat dilalui dengan damai walaupun suasana kelas seperti belajar dibawah malaikat maut. Tegang banget. Pada saat guru itu meminta salah seorang maju untuk mengerjakan soal 3b, jangankan mengacungkan tangan, malah tak ada sepotong tangan pun yang tergeletak di atas meja. Akhirnya sebagai tumbal Lintang dipanggil maju untuk mengerjakan soal 3b tadi yang ternyata jawabannya panjang minta ampun. Satu board habis dikuasainya sendiri, walaupun ia sudah meminimize tulisannya. Itu pun masih ditambahi ceramah-ceramah guru berkacamata pipih itu yang seolah-olah selalu mencari-cari kesalahan Lintang setelah sebelumnya mengawasi dengan tampang garang di balik mejanya.

Lalu maju ke pelajaran kedua, akuntansi perbankan alias Abank yang lumayan seru. Guru yang berkumis tebal itu asyik dan bisa membawa suasana sehingga pelajaran hafalan yang panjangnya wuih … terasa ringan. Lintang lagi-lagi maju ditemani rivalnya yang setia dalam hal pelajaran. Tania. Lintang mengerjakan soal £100.5.- ( - ) £10.100.100. Lumayan ‘enak’ untuk bekal makan siang.

Dan akhirnya, pelajaran yang ditunggu-tunggu Lintang. Matematika. Kali ini membahas bab peluang dan semua siswa terbius walaupun dengan alasan yang berbeda. Sebagian ngantuk, sebagian gak ngerti alias tuing-tuing dan sebagian lagi kesemsem oleh gurunya. Yup. Guru magang itu memang masih muda. Cowok kiyut dan berkacamata yang baru berusia dua puluh tahun tetapi sudah menamatkan S1-nya.

Mungkin hanya Lintang and the gank, yang tidak terpengaruh. Lintang memang maniak matematika, so siapapun gurunya, baginya sama saja. Ketiga temannya, gak  terlalu minat pada matematika. Lagipula mereka sedang asyik ngegosipin cowok masing-masing.

Hal yang menyebalkan, pikir Lintang, melirik mereka dari balik buku paket matematikanya yang tebal.

Guru muda itu mengendarkan pandangannya ke seluruh kelas. Sepertinya tak ada tanda kehidupan di kelas ini, pikirnya. “Ada pertanyaan?” tanyanya dengan suara naik satu oktaf.

Seperti tersengat listrik, banyak kepala mendongak kaget dan hampir bersamaan pula kepala-kepala itu menggeleng dalam diam. Memang sih, jangankan bertanya, apa yang mau ditanyain aja gak ngerti. Tapi Lintang melihat tangan Tania diangkat tinggi-tinggi.

“Mau apa dia?” gumam Lintang malas.

“Pak, dalam pelemparan uang logam kenapa tidak muncul peluang (A1,G1) atau (A2,G2)?” tanyanya nyaring.

Guru magang yang lengkapnya bernama Sullivan Prakusya itu tersenyum. “Ada yang bisa bantu Miss...?” ia menoleh pada Tania.

“Tania!” sahut Tania pendek.

Hening. Hampir semua mengerutkan keningnya dan lagi-lagi tak ada tangan di atas meja. Setelah beberapa saat, Lintang mengangkat tangannya. Ia sudah bosan diam-diaman terus.

“Yup. Miss Lintang!”

Lintang berdiri karena Pak Sull mengisyaratkan agar dia berdiri. “Menurut saya ... dalam pelemparan dua uang logam, mustahil (A1,G1) atau (A2,G2) akan muncul!” ucapnya tegas.

“Lho kok begitu. Dalam prakteknya kan bisa saja ada!” protes Tania.

“Ok. Begini ... kita kan memakai dua uang logam. Berarti titik sampelnya A1, G1, A2, dan G2. benar?!” Tania mengangguk. “Bukankah A1 dan G1 itu terdapat dalam satu uang logam?! Logikanya mungkin nggak dalam satu uang logam dan dalam satu kali pelemparan, muncul angka dan gambar secara bersamaan?” tanya Lintang diplomatis mengakhiri penjelasannya.

Pak Sull lagi-lagi tersenyum, “Bagus sekali Miss Lintang!” pujinya saat Lintang duduk kembali. “Memang jawabannya seperti itu. Tidak akan mungkin muncul kecuali posisinya berdiri. Dan kau pun tahu sendiri, jarang sekali uang hasil pelemparan muncul dalam posisi berdiri. Dalam hal ini peluangnya nol. Ok ... ada pertanyaan lain? ... baiklah ... kalau tidak ... selamat siang!” ucapnya seraya melangkah keluar. Bisik dan gumam lega menjalar di antara siswa kelas 2 Ak 1.

“Eh ... “ ucapnya tiba-tiba seraya menghentikan langkahnya, murid-murid memandangnya heran. Seketika kelas menjadi hening kembali.

“Ehm ... buat Lintang, pulang sekolah tolong menghadap saya!”

“hah ... eh ... i-iya Pak,” jawab Lintang dan guru itu pun benar-benar pergi. Gumaman-gumaman tak jelas kembali berdengung di kelas 2 Ak 1.

“Cieee ... Lintang ... wah ada apa-apanya nih ...” goda Ayu.

“Bisa juga lo ngecengin guru, Lin. Tapi gak apa-apa ci, kalo gak salah denger Pak Sullivan kan baru dua puluh tahun!”

Semua mata memandang kaget pada Eka.

“Yang bener,” Putri memicingkan matanya.

“Bener lagi. Liat aja wajahnya yang ‘kiyut’ itu ... gak ada tampang mutu ‘kan?”

“Mutu? Apaan tuh?” Ayu menatapnya heran.

“Mutu itu muka tua!” ucap Eka tak sabar seraya menyampirkan tas ke bahunya.

“Oooo...” Ayu menganggukkan kepalanya. “Well Lintang, gak bisa pulang bareng donk?!”

Lintang yang dari tadi hanya mendengarkan saja tersenyum, “Mau gimana lagi ... sorry ... paling gw ntar disuruh beresin apa gitu. Kayak Bu Dewi. Gw dipanggil and gak taunya disuruh beresin Ruang Self Acces!”

Lagipula sebenarnya ia agak malas pulang bareng teman-temannya. Mereka sudah berpasangan semua, masa ia dijadiin penonton tunggal untuk tiga pasangan berbeda?

Eka ke kantin dulu untuk menemui Indra, cowok kelas 3 Pj 2 itu sering berjaga di kantin hijau, stand makanan milik rumpun penjualan. Ayu biasanya langsung ke gerbang, Satya sudah stand-by di sana. Sedangkan Putri, sudah dua hari ini sering ke warnet dulu, Putra hobinya surfing di internet. Tinggal Lintang pulang sendiri. Setidaknya sejak tiga hari yang lalu.

“Ok ... semuanya, gw ke ruang guru dulu. Kalian duluan aja!” kata Lintang seraya melangkah ke luar. Ia melangkah pelan menuju ruang guru, membayangkan apa yang akan dihadapinya dari Pak Sullivan. Beberapa temannya yang berbeda kelas menyapanya dan sempat ada obrolan kecil dengannya.

“Permisi, Pak,” sapa Lintang saat ia tiba di meja guru magang yang letaknya kebetulan dekat dengan pintu. Jadi ia tidak usah repot-repot masuk ke ruang guru yang siang itu lumayan ramai. “Ada apa Bapak memanggil saya?” sambungnya.

“Oh ... Lintang ya ... saya bisa minta tolong sebentar?” ucapannya terpotong kedatangan seseorang. Seseorang yang membuat Lintang sesaat menahan nafasnya, “Ah ... Satya, saya juga mau minta tolong sama kamu, kalian ada waktu kan?”

Lintang setengah berharap Satya mengatakan tidak tetapi harapan itu kandas saat Satya mengangguk. Lintang tak berani menatap Satya ataupun Sullivan, entah kenapa.

“Tolong bantu saya mengoreksi soal ulangan, Bu Ika sakit jadi beliau meminta saya untuk mengoreksinya tetapi beliau juga meminta agar hasilnya bisa ditempel besok ...”

“Maaf ... jadi kami mengoreksi soal kelas tiga, Pak?” potong Lintang yang langsung merasa tak sopan sendiri saat Satya perlahan menginjak kakinya.

“Iya ... kamu nanti koreksi soal ulangan kelas 2 Pj,” ucap Sullivan melihat sorot protes di mata Lintang, “kita bisa gunakan kelas kosong ‘kan?”

Tanpa bisa membantah lagi, Lintang melangkah gotai mengikuti Satya dan Sullivan dengan membawa setumpuk kertas ulangan yang harus dikoreksinya menuju salah satu kelas di gedung B.

Ayolah, ambil sisi positifnya Lintang, setidaknya kamu jadi bisa bertemu dengan Satya. Batinnya menghibur diri sendiri namun justru ia kecewa sendiri dengan hiburannya tadi saat sadar kalau Satya adalah pacar dari ‘sahabatnya’ sendiri.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar